Timlo, Sup yang Hanya Ada di Solo

0
Kuliner timlo khas Solo di warung Timlo Sastro cabang Jl Dr Wahidin Solo. Warung Timlo Sastro didirikan sejak 1952.

Pelita.Online, Solo – Berkunjung ke Kota Solo tak lengkap jika tidak menjajal beragam kuliner khasnya. Salah satunya timlo. Kuliner khas Solo ini telah melegenda dan warungnya tersebar di berbagai kota

Namun, tak banyak yang memahami asal muasal makanan berkuah ini. Bahkan, kehadiran timlo kerap dikaitkan dengan kimlo yang sama-sama berkuah. Padahal warung kimlo tak akan dijumpai di Solo.

Di Solo, salah satu warung timlo yang melegenda yakni Timlo Sastro. Warung yang didirikan sejak 1952 tersebut berada di sisi timur Pasar Gede Solo. Warung Timlo Sastro didirikan oleh Sastrohartono dan Suharmi. Mereka memiliki empat anak yang kini bersama-sama mengelola warung Timlo Sastro. Keempatnya yakni, Sri Mulyani, Setyo Tri Wahyuni, Hardjono, dan Any Sri Haryani.

Hardjono menuturkan, awalnya warung Timlo Sastro hanya kaki lima di barat Pasar Gede. Kemudian pada 1957-1958 pindah ke pojok timur Pasar Gede sampai sekarang. Selanjutnya, pemilik pernah beberapa kali mendirikan cabang semi permanen. Baru pada 2017 didirikan cabang permanen di Jalan Dr Wahidin Solo.

Menurut Hardjono, alasan kedua orangtuanya mendirikan warung timlo hanya sekadar berwirausaha. “Ya setelah menikah, berwirausaha lah, ya bakulan, bukan pegawai bukan apa-apa, ternyata itu disukai, banyak pelanggan yang cocok di Solo. Dulu kan masih jarang warung timlo. Baru sekarang ini banyak. Makanya saya berani menulis warung ini sebagai pelopor timlo di Solo,” paparnya saat ditemui Republika di warung Timlo Sastro cabang Jalan Dr Wahidin, Solo, pekan lalu.

Hardjono mengaku tidak mengetahui asal resep timlo bikinan orangtuanya. Dia memperkirakan resep tersebut dari kakek-neneknya tetapi mereka tidak berjualan timlo. Hardjono belum sempat menanyakan hal itu, namun kedua orang tuanya telah meninggal. “Tapi timlo memang makanan khas Solo,” ujarnya.

Hardjono yang merupakan Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tersebut menyebutkan, ada dua versi timlo. Versi di warung Timlo Sastro, timlo komplit berisi sosis berkulit tepung terigu dengan campuran telur dan suwiran daging ayam di dalamnya, telur pindang dikecap, jeroan ayam, dan daging ayam. Isian tersebut bisa dikurangi sesuai selera. Sedangkan versi lainnya, berisi jamur kuping, wortel, dan kembang kol.

Hardjono  mengklaim timlo yang dijual di warungnya berbeda dengan timlo di warung-warung lain. Rasanya lebih gurih. Cita rasa gurih tersebut berasal dari kuah dan isian. Di warung tersebut tersedia dua versi kuah yakni kuah asinan dan kuah tawar. Peracik telah menghapal porsi kuah asinan maupun tawar untuk menghasilkan cita rasa gurih dalam satu mangkok timlo. Selain itu, telur pindang kecap serta daging ayam kampung juga dianggap sebagai pelengkap rasa gurih tersebut. Agar cita rasa tersebut tetap terjaga, perbandingan bumbu-bumbu dipertahankan sampai sekarang.

“Saya mempertahankan kualitas rasa. Sejak bapak ibu masih ada, meskipun bahan-bahan dan bumbu-bumbu harganya naik kami tetap berusaha, mungkin laba turun tapi kualitas terjaga,” terangnya.

Hardjono dengan senang hati berbagi resep pembuatan timlo yang diwarisi dari orangtuanya. Untuk membuat kuah, tumis bawang, merica dan garam yang telah dihaluskan kemudian diberi air dan daging ayam. Untuk isian, telur bebek direbus terlebih dahulu kemudian diberi kecap. Isian lainnya, sosis goreng isi daging ayam, jeroan ayam dan daging ayam kampung. Setelah dihidangkan di meja, disediakan sambal kecap, kecap, cuka dan jeruk nipis sebagai penyedap tambahan.

Di sisi lain, Hardjono mengaku tidak mengetahui secara pasti terkait timlo adaptasi dari masakan Tionghoa. Sebab, masakan Tionghoa asal lainnya seperti capcay, bakmi godog, maupun bakso tersebar di berbagai wilayah di seluruh nusantara. Sedangkan timlo hanya di Solo. “Kalau dari Tionghoa kok adanya di Solo. Di Yogya tidak ada. Kalau bakso dari Cina ada di mana-mana,” ucapnya.

Sementara soal kimlo, Hardjono pernah membaca dari buku resep masakan. Namun, dia tidak mengetahui hubungan antara timlo dan kimlo. “Hampir sama mungkin. Bumbu-bumbu dasar hampir sama, bawang dan merica kayak kuah bakso,” imbuhnya.

Mengenai strategi promosi, Hardjono mengaku tidak melakukan apapun. Sebab, banyak pelanggan yang menyebarkan dari mulut ke mulut. Bahkan, beberapa pelanggan telah berlangganan sejak puluhan tahun lalu saat orang tua Hardjono masih hidup.

“Banyak artis kalau ke Solo mampir ke Timlo Sastro, sejak tahun 1970-an Koes Plus, Eddy Sud, Dono Warkop, pejabat-pejabat seperti Gus Dur, Ketua MPR RI, menteri dan mantan menteri, dan salah satu kuliner kesukaan Pak Jokowi adalah Timlo Sastro,” jelasnya.

Dalam satu hari, dua warung timlo tersebut mampu menjual ratusan mangkok. Dia berharap ke depan bisa membuka cabang Timlo Sastro di luar kota.

Republika.co.id

LEAVE A REPLY