Bank Garansi Ekspor Benih Lobster Ada Dasar Hukumnya

0
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo usai menjalani sidang perdana kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster atau benur yang digelar secara virtual dari Pengadilan Tipikor di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (15/4/2021). Mantan Menteri Keluatan dan Perikanan Edhy Prabowo didakwa menerima suap sebesar USD 77 ribu dan Rp 24.625.587.250 oleh tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Suap berkaitan dengan pengurusan izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). BeritaSatuPhoto/Joanito De Saojoao.

Pelita.online – Kebijakan Eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang mewajibkan para eksportir benih lobster untuk menyetorkan uang sebagai bank garansi agar mendapatkan izin ekspor, dianggap KPK merupakan langkah ilegal.

Sebab pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum. Atas hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita bank garansi dengan nilai Rp 52,3 miliar yang berasal dari para eksportir benur.

Praktisi hukum Ricky Vinando, menilai, tidak beralasan secara hukum KPK mempersoalkan dan menyita bank garansi dalam kasus ekspor benih lobster dengan anggapan bahwa bank garansi tidak ada dasar hukumnya. Adanya bank garansi Rp. 1.000 per ekor benur dan telah terkumpul total Rp. 52,3 miliar dari semua eksportir dianggap KPK sebagai modus suap agar izin ekspor diterbitkan.

Uang tunai sebanyak Rp 52,3 miliar pun disita KPK dari Bank Negara Indonesia (BNI) 46 Cabang Gambir, Jakarta. Diduga uang itu berasal dari para eksportir yang telah mendapat izin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengekspor benur pada 2020.

“Janggal dan sangat aneh bank garansi dipersoalkan. Awalnya KPK bilang karena tidak ada dasar hukum bank garansi sebagai PNBP ekspor benih lobster, lalu kemarin berubah lagi dalam surat dakwaan, JPU KPK beralasan belum ada revisi Peraturan Pemerintah Tentang PNBP benih lobster, jadi mana yang benar, kenapa KPK berubah-ubah, karena bank garansi jelas ada dasar hukumnya dan tidak perlu menunggu hasil revisi,” kata Ricky Vinando, di Jakarta, Minggu (18/4/2021).

Menurutnya, bank garansi ada dasar hukumnya dan tidak perlu menunggu hasil revisi, karena masih berlaku. Dalam hal ini masih berlaku aturan lama yaitu, Peraturan Pemerintah No 75/2015 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di KKP.

“Kalau bank garansi dipersoalkan, pertanyaan hukum yang pertama, ada berapa banyak jumlah eksportir yang tidak jadi ekspor benih lobster? Harusnya data ini dibuka. Karena untuk bisa persoalkan bank garansi, itu tergantung dari pertanyaan itu, harusnya KPK berani saat sidang dakwaan Edhy Prabowo buka-bukaan mengenai data-data itu, tapi kenapa pertanyaan saya itu tidak terjawab dalam surat dakwaan KPK terhadap Edhy Prabowo? Kenapa pertanyaannya seperti itu,” ujarnya.

Menurutnya, bank garansi sebagai jaminan dari bank kepada eksportir selaku nasabahnya sekaligus sebagai terjamin. Semua dilakukan agar eksportir benar-benar melaksanakan ekspor, dan uang itu sebagai jaminan.

“Pertanyaan hukumnya selanjutnya, ada berapa puluh juta ekor benih lobster yang tak jadi diekspor, buka saja kalau KPK menegakkan hukum berdasarkan fakta hukum, terus pertanyaan selanjutnya, ukuran berapa centimeter benih lobster yang paling banyak batal untuk diekspor, 5 atau 6 centimeter atau berapa centimeter benih lobster kalau mau mempermasalahkan bank garansi, tapi kenapa itu semua tidak dibuka saat pembacaan dakwaan, KPK tidak membuka itu semua dalam surat dakwaannya dan itu adalah semua tanda tanya besar,” ucapnya.

Dikatakan Ricky, bank garansi baru beralih kepemilikannya kepada penerima jaminan yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan catatan apabila eksportir yang dijamin bank melakukan wanprestasi tidak jadi ekspor atau langgar perjanjian ekspor lobster.

“Buka saja dulu berapa banyak yang batal ekspor baby lobster dan paling banyak batal ekspor ke negara mana, ayo buka itu semua kalau mau persoalkan bank garansi dan murni penegakkan hukum, disitulah baru dapat terlihat kebenaran, tapi itu kan tidak dilakukan, ini ada apa,” ungkap Ricky.

Pada kenyataannya, di periode setelah terbitnya Permen KKP terkait ekspor benih lobster, berdasarkan data Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, terhitung sejak periode Juli hingga Oktober 2020 jumlah benih lobster yang berhasil diekspor berjumlah total 42.290.999 ekor benih. Nilai ekspornya US$ 74.281.386. Ekspor benih lobster tertinggi adalah ke negara Vietnam yang tercatat sebanyak 42.186.588 ekor.

Sedangkan ke Hongkong sebanyak 84.226 ekor dan ke Taiwan hanya sebanyak 20.185 ekor benih. Atas kondisi ini agar terang-benderang disarankan agar KPK membuka berapa banyak jumlah benih lobster yang tak jadi diekspor dan ukuran benih lobster yang berapa centimeter saja yang tak jadi diekspor, sehingga bank garansi dipersoalkan. Karena menurutnya, bank garansi tak bisa dipersoalkan sepanjang tidak ada yang batal ekspor karena bank garansi akan kembali kepada eksportir itu sendiri.

“KPK jangan lagi bicara bank garansi dalam kasus ekspor benih lobster tak ada dasar hukum. Ricky Vinando tegaskan dasar hukum jelas ada, tak perlu revisi, karena masih berlaku Peraturan Pemerintah No 75/2015. PNPB untuk benih lobster Rp. 1.000 per ekor dan itu ada pada lampiran ke- 26, No. 11 huruf a, angka 3, dan ini sesuai yang dipatok Edhy Prabowo yaitu Rp. 1.000 per ekor untuk penerimaan negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, jadi pungutan PBNP untuk benih lobster legal bukan ilegal,” kata Ricky.

Menurutnya, harus ada yang batal dulu ekspor, baru bisa tidak kembali lagi bank garansi itu. Dicontohkan, jika ada 1.250.000 ekor benih lobster tidak jadi diekspor oleh 1 eksportir. Barulah bank garansi beralih kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dan bukan beralih kepada Edhy Prabowo.

“Coba buktikan sebutkan siapa dan dari PT mana yang tidak jadi ekspor dan berapa banyak benih lobster yang batal dieskpor oleh eksportir, sehingga bank garansinya tadi seolah seolah-olah untuk Edhy Prabowo karena bank garansi bagian memuluskan izin kan ini kesan yang muncul sekarang? Kalau beralih pun tidak kepada Pak Edhy Prabowo, tapi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan masuk ke kas negara sebagai PNBP dasar hukumnya PP No. 75/2015, tapi itu tidak beralih sepanjang ekspor dilakukan dan tak ada langgar perjanjian ekspor benih lobster,” ucapnya.

Apalagi keterangan terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito, yang menyatakan gara-gara bank garansi, dia menjadi terdakwa. “Harusnya dia paham sebagai eksportir yang berpengalaman bahwa benar BNPN benih lobster Rp.1.000 per ekor dan aturan Rp.1.000 per ekor itu ada, eh tapi dia itu kan sudah mendapat status justice collabolator sehingga dituntut hanya 3 tahun penjara saja, jadi berarti selama ini dia sengaja nyanyi-nyanyi menuduh Edhy Prabowo dengan tuduhan macam-macam, supaya dapat hadiah sebagai justice collabolator,” ujarnya.

Apalagi yang bersangkutan sudah mengakui bank garansi itu sesuai dengan jumlah benih lobster yang dia ekspor dan itu untuk pemasukan negara. Kata Ricky, BNPB Rp. 1.000 per ekor benih lobster itupun diatur dalam Peraturan Pemerintah No, 75 Tahun 2015 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Suharjito bilang untuk pemasukan negara, Lah artinya dia paham sejumlah uang yang dia jaminkan ke bank sehingga bank terbitkan bank garansi. Harus dipahami bahwa itu baru akan beralih kepemilikannya kepada negara jika dia tak jadi ekspor, jadi bukan beralih ke Edhy Prabowo ya. Masa dia tak serius soal ekspor, masa dia sebodoh itu udah setor uang jaminan ke bank tapi batal ekspor, kan aneh saja, tapi faktanya dia sudah ekspor sebanyak 642.684 ekor benih lobster,” ucapnya.

“Jadi, dia itu sudah ekspor sebanyak itu, kenapa nuduh macam-macam, dan dengan sudah ekspor dan apalagi sudah lunas bayar BNBP benih lobster, berarti uang jaminannya ke bank akan kembali ke dia selaku pengekspor, bukan ke Kementrian Kelautan dan Perikanan apalagi Pak Edhy Prabowo, harusnya seperti itu, tapi karena sudah jadi masalah hukum, rasanya agak berat bisa kembali lagi ke para eksportir,” tambah Ricky.

Kemudian mengenai Rp. 1.800 per ekor sebagai harga angkut atau harga kargo yang juga jadi masalah bagi KPK. Ricky menjelaskan, hal itu mengada-ada karena negara sudah sangat diuntungkan dari kebijakan ekspor benih lobster itu karena ada pajak ekspor dan bea materai ekspor dan PNBP, sehingga tak seharusnya Edhy Prabowo diseret dalam kasus ini terlebih lagi angka Rp. 1.800 ekor itu adalah murni bisnis.

“Kalau belakangan dikatakan pengangkutan tidak melalui PT ACK, tapi melalui PT. Perishable Logistics Indonesia (PLI) dengan pembagian kerja PT PLI yang mengurus seluruh kegiatan ekspor BBL dengan biaya 350 per ekor, sedangkan PT ACK Rp.1.450 per ekor hanya sebagai perusahaan yang melakukan koordinasi dengan perusahaan pengekspor BBL (bening benih lobster) dan menerima keuntungannya saja, lah apa yang salah dengan skema itu? Itukan bisnis PT ACK dengan PT. PLI,” ujarnya.

“Lalu kalau sisanya (Rp. 1.450 per ekor) disebut untuk PT ACK yang dikendalikan orang-orang Pak Edhy Prabowo, terlebih lagi katanya ada aliran dana ke Edhy Prabowo yang katanya pula dipake untuk belanja di Amerika, ini kan tuduhan yang aneh, karena gampang saja, KPK kenapa tidak dakwa sekaligus dengan dakwaan TPPU seperti KPK pernah mendakwa Akil Mochtar dan Emirsyah Satar? Ya, karena KPK tidak yakin dan masih ragu-ragu uang yang dipake belanja itu hasil gratifikasi, soal bank garansi aja banyak salahnya KPK,” tutup Ricky.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY