Bencana Komunikasi Pemerintah di Pusaran Wabah

0

Pelita.online – Perempuan berbaju putih dengan lengan digulung hingga siku dan celana khaki berpipa lurus di atas mata kaki itu berjalan pelan di antara ladang terbuka yang tadinya penuh ranjau darat. Rambutnya yang pirang pendek tampak keemasan di balik tabir muka (face shield).

Ketika ia berhenti sejenak memberi senyum kecil, puluhan kamera menyambutnya tanpa ampun.

Di Angola Januari 1997, tepat 24 tahun lalu, foto Putri Diana berkampanye melarang penggunaan ranjau darat ini kemudian menjadi berita utama (headline) di seluruh dunia.

 

Kampanye melarang produksi, penjualan dan penggunaan ranjau darat sebagai senjata yang kejam dan kerap makan korban non-kombatan sesungguhnya sudah lama berlangsung.

Tapi tidak pernah dalam kelas yang sama dengan Diana.

“Kami mencoba sekuat tenaga mengkampanyekan pelarangan penggunaan dan produksi serta ekspor ranjau ini tapi baru ketika Diana terlibat pemerintah Inggris setuju moratoriumnya,” kata Lou McGrath, salah satu pendiri Mines Advisory Group yang sudah mengkampanyekan gerakan anti ranjau darat sejak 1989 dari Cromwell, Inggris.

Kampanyenya sukses besar. Setahun setelah kemunculan Diana di Angola, 122 negara di dunia meneken keikutserataan dalam perjanjian internasional (treaty) melarang penggunaan ranjau darat.

Putri Diana meninggal selang dua bulan sejak sesi fotonya di Angola. Namun dunia mengingat bahwa sosok selebriti seperti sang putri punya pengaruh besar dan kekuatan luar biasa untuk menentukan nasib sebuah kampanye global.

Pemerintah Indonesia, rupanya mempercayai hal serupa. Untuk kampanye vaksin COVID-19, pemerintah meminta kesediaan pesohor Raffi Ahmad disuntik setelah Presiden Joko Widodo, pekan lalu.

Raffi dan istrinya, Nagita, adalah selebriti dengan pengikut Instagram tertinggi di Indonesia, sebanyak 49,4 juta. Sayangnya, tak seperti kampanye Putri Diana, penunjukan Raffi berujung kisruh karena sang seleb memilih berpesta hanya berselang kurang 12 jam setelah vaksinasi.

Tanpa jarak dan tanpa masker, sikapnya malah menjadi PR disaster (bencana komunikasi) ketimbang kampanye yang sukses.

Raffi kemudian minta maaf. Tetapi penunjukannya mengundang tanda tanya: apakah kampanye dengan selebriti seperti Raffi sudah dipikirkan matang?

Dari tampilan sosial media dan pemberitaan kanal hiburan, ia tak pernah menyembunyikan kegiatannya selama pandemi; aktif keluar rumah, gemar traveling dan hampir selalu berkumpul dengan banyak orang. Pendeknya, bukan pembawa pesan ideal untuk gaya hidup taat prokes yang dibutuhkan publik.

Jadi apakah memilih Raffi sekadar karena kekuatan pengikutnya yang sangat besar atau karena memang layak muncul sebagai teladan publik? Dengan kata lain, mana lebih penting: kekuatan tampilan atau substansi pesan?

Penunjukan ini konsisten dengan gaya kampanye publik pemerintah selama ini. Dalam upaya mengkampanyekan protokol menghadapi COVID-19, istana mengundang banyak pihak untuk membantu kampanye anti-COVID, termasuk sekelompok seniman dan orang terkenal, sebagian disebut buzzer sebagian lagi dijuluki influencer, Juli lalu.

Tak jelas kenapa untuk isu saintifik seperti pandemi, mereka justru dipilih, bukan ilmuwan atau komunikator sains, misalnya (yang bahkan belum pernah diundang ke istana selama pandemi).

Penunjukkan “dokter cantik” Reisa Brotoasmoro sebagai juru bicara Satgas COVID selama beberapa bulan lalu, juga menguatkan pesan bahwa kampanye publik pemerintah dibangun di atas dasar ini: pentingnya tampilan menawan di layar.

Juru bicara Presiden Fadjroel Rakhman mengatakan mereka ditunjuk karena pemerintah melihat mereka sebagai ujung tombak demokrasi digital sehingga muncul “pengakuan peran kuat (terhadap) aktor digital sebagai jaringan informasi”.

Masifnya penggunaan jaringan kelompok influencer di media sosial oleh pemerintah menurut ICW ternyata makan ongkos lebih dari 90 miliar dari APBN. Belakangan kalangan ini juga disebut-sebut turut mengkampanyekan UU Omnibus yang kontroversial dan sempat menyulut demonstrasi besar di berbagai kota tahun lalu.

Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, pemerintah tak mengorganisir mereka.

“Buzzerkerja independen, inisiatif sendiri baik pribadi maupun kelompok untuk membenarkan kebijakan pemerintah, tapi pemerintah tidak pernah meminta itu.”

Tidak jelas apakah pernah ada evaluasi untuk melihat efektivitas para pemengaruh ini di dunia nyata: benarkah mereka berhasil mengkomunikasikan pesan pada publik? Apakah kepatuhan pada prokes COVID-19 meningkat dan capaian target kampanye terjadi dengan pola komunikasi semacam ini? Bila benar ada anggaran negara dipakai untuk komunikasi pesan pemerintah ini, bagaimana bentuk pertanggungjawabannya?

Buku putih WHO untuk komunikasi wabah menyatakan 3 prinsip utama komunikasi dalam bencana pandemi adalah: kepercayaan (trust), komunikasi lebih awal (early), dan kejujuran (transparency).

Kejujuran punya kaitan langsung dengan kepercayaan karena orang tak akan percaya bila merasa tak diperlakukan dengan jujur. Dalam kaitan dengan kejujuran dan kepercayaan, WHO menekankan pentingnya komunikasi risiko (risk communication) yakni memberikan informasi berisi ancaman dan peluang agar publik dapat mengambil tindakan terbaik (informed decision) dalam melindungi diri dan keluarga mereka.

Ketidakterusterangan pemerintah dalam data korban, kapasitas faskes, maupun jaminan keamanan vaksin, berpotensi mendorong publik untuk meragukan kampanye COVID-19 pemerintah.

Beberapa bulan awal misalnya, ternyata pemerintah sengaja menahan informasi wabah karena khawatir masyarakat panik. Akibatnya harapan agar masyarakat mampu membuat keputusan terbaik sulit dicapai, dan itu terbukti dari tingginya angka pelanggaran prokes dalam 11 bulan terakhir.

Dalam hal memilih duta, juru bicara atau siapa pun yang ditampilkan sebagai wajah pesan, pakar menyarankan pemilihan dengan cermat.

Badan Penyakit Menular AS (CDC) menekankan betapa pentingnya sosok komunikator ini: during an emergency, the right message, from the right person, at the right time can save lives…. The right person, speaking with compassion. (Dalam kondisi darurat, memilih orang yang tepat yang mengantarkan pesan yang tepat di waktu yang tepat bisa menyelamatkan nyawa)

Dalam kasus ranjau darat, adalah Diana sendiri menurut Lou McGrath yang minta supaya diikutsertakan dalam kampanye anti-ranjau. Lady Di belajar banyak bahan, berkonsultasi dengan ahli, dan menghubungi Yayasan yang merawat para korban. Sejak awal, Diana bersungguh-sungguh dengan misinya.

Kanselir Angela Merkel yang dikenal dingin dan tanpa emosi, nyaris berkaca-kaca saat meminta publik Jerman agar sekali lagi bersedia hidup di bawah kuncian lockdown Desember lalu menjelang Natal.

Dan betul, meski Natal berlangsung kelabu untuk warga Jerman, angka kasus kembali terkendali dan ancaman ledakan kasus berhasil dihindari.

Diana dan Merkel menunjukkan mereka adalah sosok yang pas untuk pesan yang mereka bawakan.

Melihat jumlah korban yang (resminya) sudah melewati angka 900 ribu penderita COVID-19 sampai hari ini, mestinya ini saat yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi komunikasi bencana pandemi ini.

Seperti dalam kasus Raffi Ahmad, meneruskan pola-pola komunikasi bencana yang sekarang berlangsung belum tentu membawa hasil, tapi bisa malah jadi bencana komunikasi.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY