Boracay Dulu Rusak karena Wisata, Kini Mati karena Pandemi

0

Pelita.online – Setelah 21 bulan sejak penutupan pertama untuk pemulihan, Pulau Boracay di Filipina harus berhadapan dengan pandemi virus Corona. Bagaimana nasib penduduk di sana?

Pulau Boracay, salah satu destinasi favorit yang dimiliki Filipina, selalu kebanjiran wisatawan. Pantainya berpasir putih dan berair jernih, kekayaan laut dan isinya yang menakjubkan.

Pulau Boracay, yang mendapatkan predikat salah satu pantai tercantik di dunia, itu pun kemudian amat bergantung kepada pariwisata. Pulau itu boleh dibilang tak pernah tidur.

Awalnya, kedatangan wisatawan bukanlah masalah bagi Pantai Boracay. Tapi, lama-lama mengalami masalah lingkungan karena pulau itu menjadi padat sekali.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte menginstruksikan agar pulau itu dibenahi. Caranya, dengan menutup pintu bagi turis selama enam bulan.

Perintah itu menjadi polemik. Penduduk lokal, yang sebagian besar bergantung pada pariwisata, protes. Tapi, Duterte bergeming. Penutupan pulau tetap dilakukan.

Situasi serupa terulang di tahun 2020 ini. Tak ada turis karena virus Corona.

“Ketika orang berhenti datang, kami kesulitan. Kami sudah merasakannya selama penutupan tahun 2018. Ini benar-benar terasa seperti ujian untuk bertahan hidup,” ungkap Maffi Deparis, manajer hotel dan restoran di Deparis Beach Resort, seperti diberitakan Asian South China Morning.

Beberapa hotel di Pulau Boracay, seperti Diniview Villa Resort, terus beroperasi cuma sedikit wisatawan yang muncul. Itu demi menyelamatkan staf hotel.

“Alasan kami tetap terbuka adalah untuk mendukung staf kami, karena mereka tidak memiliki cara lain untuk menghasilkan uang,” jelas pemilik Swedia berusia 51 tahun, Julia Lervik, yang telah tinggal di pulau itu selama 30 tahun.

Sebelum pandemi, setiap harinya pulau ini menerima sekitar 3.000 hingga 5.000 wisatawan. Namun kedatangan pengunjung sejak Corona anjlok dan tetap pada tingkat rendah bahkan setelah pulau dibuka kembali untuk penduduk dari tempat lain.

Menurut statistik pemerintah, hanya 81 turis yang mengunjungi Boracay antara 16 dan 30 Juni. Jumlah ini hampir tidak cukup untuk mengisi satu resor, apalagi ratusan hotel di pulau itu.

Pada 17 Juni, hanya ada dua pengunjung baru. Dan pada awal Juli, provinsi Aklan, di mana Boracay merupakan bagiannya, menutup perbatasannya lagi setelah lonjakan kasus Covid-19 di provinsi tetangga, secara efektif membatasi perjalanan ke pulau itu.

Akibatnya, pulau yang selalu ramai itu berubah menjadi kota hantu. Etalase toko tertutup berjajar di jalan-jalan sepi.

Selain hotel dan resor, usaha bar dan restoran mengeluhkan hal yang sama. Tidak ada lagi pemasukan mereka yang biasanya 95 persen berasal dari wisatawan.

Semua pengusaha yang terhubung dengan dunia pariwisata mengeluhkan betapa banyak kerugian dan biaya yang harus mereka keluarkan untuk membiayai karyawan mereka. Ambang bangkrut dan penutupan properti berada di pelupuk mata. Walau sudah ada bantuan dari pemerintah, tapi itu sangat kecil.

“Dari tiga perusahaan kami, dengan 65 karyawan, hanya staf satu perusahaan yang menerima bantuan keuangan dari program jaminan sosial pemerintah. Staf dan perusahaan lain ditolak. Ketika kami meminta penjelasan, mereka mengatakan kami ‘harus senang bahwa staf satu perusahaan menerimanya’,” curhat Julia Lervik, pemilik, Diniview Villa Resort.

Mungkin Pulau Boracay bukan satu-satunya pulau wisata yang mengalami hal ini. Mungkin nasibnya tidak jauh beda dengan Bali dan pulau-pulau wisata lainnya di dunia.

Tidak ada kepastian kapan wisatawan akan kembali, apalagi dengan banyak wilayah di Filipina yang masih mengalami peningkatan kasus COVID-19. Walau turis kembali, mungkin butuh waktu untuk bisnis bergerak seperti biasa.

Terlebih Pulau Boracay telah menjalani karantina yang dimodifikasi sejak 1 Juni, yang berarti bahwa bisnis hanya diperbolehkan beroperasi dengan kapasitas 50 persen. Serta mereka juga harus mematuhi protokol kebersihan yang ketat.

LEAVE A REPLY