BPPT Jelaskan Cara Kerja Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Cegah Banjir

0

Pelita.online – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) turut berperan dalam meminimalkan terjadinya banjir di Jabodetabek, yakni lewat Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Lalu, bagaimana cara kerja TMC?

Teknologi Modifikasi Cuaca atau TMC di dunia digunakan untuk berbagai tujuan, seperti menambah curah hujan, meningkatkan hujan salju, mengurangi hujan es, dan mengurangi kabut. Namun, di Indonesia, TMC biasanya digunakan untuk mengisi waduk, membasahi lahan gambut, memadamkan karhutla, atau mengurangi curah hujan penyebab banjir.

“Dalam hal mengurangi penyebab banjir Jabodetabek dan sekitarnya seperti yang dilakukan sekarang ini, TMC dilakukan dengan menyemai awan-awan yang diprediksi oleh BMKG yang tergabung Tim TMC akan memasuki wilayah Jabodetabek dan berpotensi mengakibatkan terjadinya banjir,” ujar Kepala Balai Besar TMC BPPT Tri Handoko Seto kepada wartawan, Sabtu (25/1/2020).

Tri menjelaskan cara kerja mengurangi intensitas hujan itu adalah menyemai atau menanam awan buatan. Awan buatan ini nantinya akan menghasilkan hujan di atas laut menahan masuk ke Jabodetabek. Kemudian, hujan akan kembali diturunkan ke beberapa titik yang masih membutuhkan.

“Awan-awan tersebut biasanya tumbuh di atas Lampung, Selat Sunda, dan Laut Jawa, lalu tumbuh sambil bergerak menuju Jabodetabek. Awan-awan ini kita semai agar bisa jadi hujan lebih awal di atas laut sebelum memasuki Jabodetabek.”

“Untuk awan-awan yang sudah matang, hujan bisa segera terjadi 10 menit setelah penyemaian. Namun, bisa juga jadi hujan 20 menit, 30 menit, bahkan 1-2 jam setelah penyemaian. Umur awan dan arah serta kecepatan angin kita hitung agar awan bisa jatuh di atas laut,” jelasnya.

“Pada kondisi tertentu, jika memungkinkan, awan juga diupayakan jatuh menjadi hujan di wilayah yang masih membutuhkan air hujan misalnya waduk. Namun ini sangat jarang terjadi kecuali memang arah dan kecepatan anginnya memungkinkan untuk itu,” imbuhnya.

Menurut Tri, curah hujan ekstrem biasanya berupa awan cumulonimbus (Cb) yang menjulang tinggi atau bisa juga awan Cb yang dikenal dengan Super Cloud Cluster (SCC). Tri mengatakan TMC juga telah memiliki keahlian mengondisikan awan saat cuaca hujan ekstrem.

“Tim TMC Nasional telah memiliki teknik penerbangan penyemaian pada awan Cu aktif. Seandainya pun awan sudah menjadi Cb, pada batas tertentu Tim TMC masih mampu melakukan penyemaian pada titik-titik yang aman menurut pengamatan dan perhitungan kru pesawat,” tutur dia.

Selain itu, untuk menyemai atau menambahkan awan buatan itu, lanjut Tri, tim TMC tidak perlu berada di puncak awan. Dia menyebut level ketinggian penyemaian bukan tolok ukur efektivitas penyemaian awan. Menurutnya, cara penyemaian awan yang wajar itu dari dasar awan 3 ribu kaki pada awan menjulang dengan ketinggian puncaknya mencapai puluhan ribu kaki.

“Dalam sebuah awan terdapat aliran ke atas (updraft) dan aliran ke bawah (downdraft). Begitu bahan semai masuk ke dalam awan, maka bahan semai akan menyebar ke hampir seluruh bagian awan. Ini ibarat ular yang tidak harus mematuk kepala manusia untuk membunuh. Tapi cukup mematuk kaki saja, maka bisa/racun akan menyebar dan mampu membunuh,” jelasnya.

Tri menjelaskan di Indonesia hanya BBTMC BPPT yang melakukan litbangjirap TMC. Oleh karena itu, Tri meminta dukungan semua pihak.

“Tentu ini berat. Sedangkan di banyak negara, dukungan riset dari perguruan tinggi cukup kuat. Diperlukan pula penguatan armada baik melalui skema penggunaan pesawat TNI maupun pengadaan pesawat baru. Termasuk penggunaan metode baru seperti roket atau artileri sebagaimana dilakukan oleh China. Atau mungkin penggunaan pesawat tanpa awak. Selain itu juga diperlukan dukungan anggaran yang terencana agar TMC bisa dilaksanakan secara lebih efektif. Ke depan, BPPT bersama para stakeholder juga akan menggunakan kecerdasan buatan (yang saat ini sedang dibangun) untuk menunjang operasi TMC,” pungkasnya.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY