Demo di Jakarta, Anak STM Wakili “Perlawanan” Kelompok Urban Marginal

0

Pelita.online – Viral di media sosial, foto seorang siswa Sekolah Kejuruan Menengah (SMK/STM) yang sedang menahan perih dengan bendera merah putih akibat tembakan gas air mata aparat keamanan. Foto hasil bidikan wartawan Kompas.com, Garry Andrew Lotulung, penuh epic dengan pesan yang kuat sekali. Tidak hanya viral di media sosial, foto tersebut menjadi perbincangan publik bahkan “Go International”.

Netizen banyak yang bertanya, siapa “sosok” anak pemberani yang berhasil dibidik Kamera Garry Andrew Lotulung pada Rabu (25/9/2019) sore itu?

Dari penelusuran di media sosial, sosok pelajar itu akhirnya terungkap. Lutfi Alfiandi namanya. Diketahui Lutfi adalah Pelajar SMK Walang Jaya, Jakarta Utara.

Selain Lutfi, ada ribuan lagi anak STM yang turun ke jalan hari itu, ikut berdemo menentang RUU KPK dan KUHP di Jakarta.

Para remaja tanggung itu datang dari berbagai wilayah sekitar Ibukota, khususnya Bogor. Sebagai putra Bogor, saya merasa bangga sekaligus sedih.

Pasti banyak yang bertanya, kok orangtua siswa mengizinkan mereka demo ya? padahal dari sisi usia, sekolah dan orangtua seharusnya masih berkewajiban mengawasi mereka.

Disinilah persoalannya saya memulai cerita ini.

Bogor adalah daerah penyangga Ibu Kota, khususnya Kabupaten Bogor. Kebetulan wilayah Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta adalah Bogor Timur, daerah industri dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia yakni Kecamatan Bojonggede, Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, Cileungsi dan Klapa Nunggal. Di mana ada kawasan Industri, pasti ada permasalahan sosial, seperti kemiskinan.

Daerah pinggiran Jakarta ini dihuni oleh mayoritas masyarakat Sunda dan Betawi. Walaupun menjadi pusat industri, secara ekonomi penduduk asli Bogor Timur jauh tertinggal dari para pendatang.

Salah satu faktornya adalah pendidikan. Rerata pabrik-pabrik di Bogor tidak bisa menerima pekerja atau buruh dari pribumi karena tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan, sehingga yang bisa diterima mayoritas dari luar daerah.

Pemerintah daerah Bogor melihat penomena ini, sehingga di tahun 1990-an Pemkab dan Pemkot Bogor mempermudah pendirian Sekolah Kejuruan/Vokasional swasta yang “Link and Match” dengan kebutuhan perusahaan di Bogor.

Upaya pemerintah ini berhasil, banyak anak-anak Bogor akhirnya bersekolah di STM. Bagi mereka inilah “jalan pintas” untuk memotong mata rantai kemiskinan. Dengan ijazah STM, mereka setidaknya dapat dengan mudah bekerja di pabrik-pabrik sebagai buruh.

Apakah mereka secara strata sosial meningkat dan naik ke level menengah? Tidak juga, mereka tetap ada di strata bawah sebagai kelompok buruh marginal.

Sebenarnya, yang bisa mengenyam pendidikan STM di Bogor masih jauh lebih beruntung, karena mayoritas buruh di kampung kelahiran saya (Citeureup) rata-rata lulusan SMP (Mayoritas di perusahaan garment).

Masuk STM, apalagi STM Swasta masih dipandang sebelah mata di Bogor (waktu itu tahun 90-an), karena dinilai ujung-ujungnya menjadi buruh pabrik. Bagi orangtua siswa yang mampu secara ekonomi dan otak anaknya “rada encer” pasti lebih memilih SMA Negeri daripada STM.

Tapi masuk SMA negeri yang favorit di Bogor bukan persoalan mudah. Sulit sekali. Waktu itu, selain harus pintar, kami anak-anak dari Kabupaten Bogor harus bersekolah ke Kota Bogor untuk mendapatkan sekolah negeri yang bagus.

Masuk STM swasta bagi kami “anak-anak rumahan” hal yang sangat “mengerikan”, karena “image”-nya sangat buruk. Di tahun 1990-an anak-anak STM Bogor terkenal sebagai tukang tawuran dan berandalan.

Latarbelakang siswa STM Bogor yang berangkat dari masyarakat urban yang dikenal sangat ketat dalam persaingan hidup sehari-hari ternyata membentuk “sub-kultur” baru, yaitu “kekerasan”.

Anak-anak sekolah (Baik STM maupun sederajat) khususnya dari Bogor Timur (Citeureup, Cibinong dan sekitarnya) terkenal dengan budaya tawurannya. Sampai saat ini, setiap bulannya kerap muncul berita tawuran pelajar yang mengakibatkan korban luka maupun meninggal dunia.

Bagi kami anak Bogor (mungkin sampai detik ini), pergi dan pulang sekolah adalah perjuangan sendiri, apalagi jika naik kendaraaan umum. Pasti akan menemukan genk-genk anak sekolah disetiap titik, baik diterminal maupun pusat tongkrongan anak muda.

Tidak heran, anak-anak Bogor terkenal sifatnya yang “keras” karena lingkungan yang membentuknya.

Kini anak-anak Bogor dilibatkan dalam demonstrasi di Jakarta, entah siapa yang menggerakan. Yang pasti kemarahan mereka di Jakarta merepresentasikan apa yang mereka alami dalam keluarganya masing-masing sehari-hari yaitu kemiskinan dan ketidakadilan.

Tidak mungkin ada “anak mamah” dan “anak orang kaya/pejabat” di tengah demo anak-anak itu, karena mereka simbol dari ketidakadilan.

Muhammad Ridwan

Putra Bogor, berdomisili di Bandar Lampung.

LEAVE A REPLY