Diseret Irjen Napoleon, Ini Penegasan dari Menkumham

0
SP/Ruht Semiono Rapat Kerja Komisi III - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, (25/8/2020). Rapat Kerja membahas Rancangan Undang-Undang tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

pelita.online-Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H. Laoly membantah klaim mantan Kadiv Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte yang menyebut kewenangan penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar pencarian orang (DPO) di sistem imigrasi merupakan kewenangan Menkumham dan Dirjen Imigrasi. Yasonna pun menjelaskan masuk atau dicabutkan seseorang dari daftar cekal di Imigrasi berdasarkan permintaan dari aparat penegak hukum (APH). Hal itu, kata Yasonna merupakan prosedur tetap (protap) yang berlaku pada Ditjen Imigrasi Kemkumham.

“Protap di Imigrasi itu pencekalan maupun pencabutan pencekalan dilakukan atas permintaan APH (Aparat Penegak Hukum), bukan suka-suka kita,” kata Yasonna ketika dikonfirmasi, Selasa (23/2/2021).

Yasonna mengatakan, penjelasan mengenai penghapusan red notice Djoko Tjandra telah disampaikan oleh Dirjen dan Sesditjen Imigrasi Kemkumham kepada penyidik Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung.

“Dirjen imigrasi dan Sesditjend (mantan Dirwasdakim) sudah memberi keterangan dan penjelasan tentang hal tersebut di Bareskrim dan Kejaksaan Agung,” katanya.

Yasonna memastikan mekanisme penghapusan red notice dilakukan berdasarkan permintaan aparat penegak hukum.
“Kalau APH minta cekal, kita cekal, kalau minta hapus kita hapus. Itu ketentuan hukumnya,” katanya.

Diketahui, saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi sebagai terdakwa perkara dugaan suap pengurusan penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar red notice di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021), Napoleon mengklaim tidak memiliki kewenangan untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. Napoleon pun menunjuk Menkumham, Yasonna H. Laoly dan Dirjen Imigrasi Kemkumham, Jhoni Ginting sebagai pihak yang berwenang melakukan hal tersebut.

“Penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra dalam sistem ECS (Enhanced Cekal System) adalah kewenangan Menkumham RI atau Dirjen Imigrasi. Sehingga bukan tanggung jawab Terdakwa (Napoleon) karena memang Terdakwa tidak memiliki kewenangan itu,” kata Napoleon.

Untuk itu, Napoleon mengklaim tanggung jawab atas hapusnya nama Djoko Tjandra dari DPO tidak dapat dilimpahkan kepada dirinya selaku Kadiv Hubinter maupun NCB Interpol Polri. Meskipun, dalam surat tuntutan Jaksa disebutkan Napoleon memerintahkan anak buahnya membuat tiga surat kepada Ditjen Imigrasi terkait penghapusan nama Djoko Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM).

“Tanggung jawab itu tidak bisa dilimpahkan kepada Divhubinter atau NCB Interpol Indonesia berdasarkan tiga surat NCB Interpol Indonesia tersebut,” katanya.

Diberitakan, Jaksa Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte. Jaksa meyakini jenderal bintang dua itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah menerima suap dari terpidana perkara korupsi cessieBank Bali Djoko Tjandra. Suap melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi itu diterima Napoleon untuk membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY