FGD Evaluasi Pemilihan Serentak Soroti Medsos dan Kandidasi Calon

0
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi

Pelita.Online –  Tuntas sudah Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pemilihan Serentak 2015-2018 edisi kedua yang digelar di Universitas Airlangga Surabaya Rabu (31/10/2018).

Kegiatan satu hari pemungutan penuh ini setidaknya merangkum beberapa hal, khususnya yang menyangkut tema utama “Kampanye SARA, Regulasi, Modus Operandi dan Solusi” antara lain usulan penguatan regulasi menangkal politik identitas dan SARA juga hoax, pencermatan dan pengawasan yang lebih kuat terkait media sosial (medsos) hingga menurunnya jumlah kandidat calon di pemilihan kepala daerah imbas dari meningkatnya ambang batas pencalonan yang berakibat pada banyaknya persaingan head to head dalam pemilihan serentak atau calon tunggal. 
 
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi dalam kata penutupnya berterimakasih atas masukan pemikiran dan tanggapan para stakeholder kepemiluan yang hadir pada kegiatan FGD kali ini. Tidak hanya para pembicara seperti Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali, Dirjen Otda Kemendagri Sumarsono, Anggota Bawaslu Rahmat Bagja dan Peneliti Setara Institute Ismail Hasani tapi juga sejumlah partai politik dan pegiat kepemiluan masyarakat sipil yang hadir dan memberikan sumbangsihnya untuk kemajuan demokrasi di Indonesia.
 
Pramono juga sepakat bahwa masukan dan pemikiran para peserta FGD terkait fenomena politik identitas, SARA dan juga hoax pada proses pemilihan harus dihindari. Meskipun pada prakteknya hal tersebut kerap masih dianggap lumrah oleh sebagian orang. 
 
Pramono juga sepakat perlu adanya regulasi yang memperkuat penyelenggara pemilu untuk mengatasi persoalan ini. Termasuk didalamnya pengaturan yang lebih ketat terkait penggunaan media sosial yang dianggap sebagai salah satu sarana menyebarkan politik identitas dan SARA ke tengah masyarakat. 
 
Dia juga membuka diri dengan adanya pemikiran bahwa proses pencalonan di pemilihan serentak selanjutnya atau di pemilu berikutnya bisa dipermudah namun tetap selektif. Dia membenarkan bahwa proses kandidasi politik yang terbatas hanya diikuti oleh sedikit calon membuka lebar peluang untuk digunakannya politik identitas, SARA dan hoax. “Tugas penyelenggara makin berat, tapi bagaimana kita terus membahas ini demi penyelenggaraan pemilihan yang lebih baik. Dan kita memang mengambil waktu untuk melakukan evaluasi untuk mengambil kebijakan yang lebih jernih,” kata Pramono. 
 
Sebelumnya pada sesi akhir diskusi FGD, Rahmat Bagja menilai keberadaan medsos sebagai sarana kampanye lebih banyak merugikan masyarakat. Isu agama, suku, ras disebutnya kerap disampaikan oleh peserta dan membuat masyarakat menjadi jauh dari politik. Bawaslu sendiri menurut dia tidak bisa melangkah lebih jauh untuk mengawasi akun medsos, selain mengawasi akun yang telah didaftarkan oleh para peserta. “Dan yang pasti akun tersebut tidak akan melakukan pelanggaran,” kata Bagja.
 
Senada, peneliti Setara Institute Ismail Hasani menyebut politik identitas yang terjadi disetiap proses pemilihan juga hadir tidak lepas dari hilangnya keberpihakan kita pada nilai-nilai kebangsaan. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya pemahaman kepemiluan. “Dan dampaknya tentu destruktif,” kata dia. 
 
Dia pun mengusulkan perlu adanya kerja politik disamping kerja regulasi untuk lebih mengatur itu semua. “Kerja regulasi saja tidak cukup tapi juga kerja politik,” pungkasnya. 
kpu.go.id

LEAVE A REPLY