Imlek dan ‘Ancaman’ Kelestarian Lingkungan

0
ilustrasi Imlek (AFP PHOTO / YE AUNG THU)

Pelita.Online, Jakarta — Tahun 2019 berarti saatnya meninggalkan tahun anjing kemudian menyambut babi tanah.

Orang-orang pun mulai berbenah. Karena bersih-bersih atau berbenah haram dilakukan pada hari H, maka sebagai gantinya hal ini dilakukan beberapa hari jelang tahun baru alias Imlek.

Bersih-bersih barang-barang ‘lawas’ diyakini dapat membuang sial atau akumulasi kesialan di tahun sebelumnya. Di satu sisi, Imlek juga memiliki tradisi untuk memiliki busana baru.

Tradisi ini pun diikuti dengan ‘perayaan’ label-label busana sampai furniture dan pusat-pusat perbelanjaan lewat aneka promo menarik. Lihat saja penawaran dari Zara atau H&M atau aksesori bernuansa babi yang bakal berganti saat tahun babi berakhir. Artinya aksesori lama hanya akan jadi penghuni tetap tempat sampah.

Saat Imlek, permintaan akan baju-baju berwarna merah, khususnya pakaian dalam merah akan mencapai puncaknya. Tak dimungkiri kalau merah melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan dalam tradisi China.

Tak cuma itu, berbagai aksesori dengan tema binatang di tahun tersebut juga akan mencapai puncaknya. Gantungan kunci Louis Vuitton, aksesori babi Longchamp, sampai purse berbentuk babi dengan monogram Gucci juga bakal diburu. Namun, bagaimana setelah tahun berganti? Aksesori ini mungkin akan ditinggalkan dan digantikan dengan yang baru.

China sebagai negara dengan pertumbuhan penduduk tertinggi pun jadi pangsa pasar terbesar bagi industri fesyen. Ekonomi mereka tumbuh pesat. Namun semua ini harus ‘dibayar’ dengan ancaman kelestarian planet.

Meski demikian, China tak bisa serta merta dijadikan tersangka. Bisa jadi China juga adalah korban.

China jadi pemenuh nafsu para penikmat ‘fast fashion’. Fast fashion layaknya fast food. Pakaian diproduksi secara massal dengan proses produksi cepat termasuk urusan desain, manufaktur dan penjualan.

Melansir dari CNN, saking cepatnya, jumlah pakaian yang diproduksi tiap tahunnya bisa dua kali lipat pada 2000-2016. Pernah produksi pakaian menyentuh angka 100 miliar pada 2014. Dari jumlah yang diproduksi, konsumen rata-rata membeli 60 persen saja.

Akan tetapi, sebanyak 73 persen pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah tiap tahun. Padahal, industri fesyen menyumbang 10 persen emisi karbon dan 20 persen polusi air ditimbulkan oleh proses pewarnaan kain.

Melihat kenyataan ini, jelas harga yang harus dibayar China terlampau mahal demi memenuhi nafsu publik akan fast fashion. Sekitar 37,4 persen sumber air di sana tak layak untuk konsumsi. Bahkan dilaporkan New Scientist, ada sebanyak 450 titik wilayah di China dijuluki ‘desa kanker’ karena angka kejadian kanker di sana cukup tinggi. Ini semua efek dari pencemaran air dan irigasi.

Inisiatif ‘sustainable fashion’

Ancaman kesehatan hingga kelestarian lingkungan pun menyulut inisiatif dari berbagai pihak untuk melawan ‘fast fashion’. Emma Watson dan Meghan Markle kerap tampil dengan busana yang memperhatikan kelestarian lingkungan.

Di China, istri Presiden Xi Jinping, Peng Liyuan mengenakan busana dari perancang Ma Ke yang menganut ‘sustainable fashion’. Penyanyi Sandy Lam dan Eason Chan pun mengenakan busana daur ulang dan berkolaborasi dengan desainer-desainer yang sevisi dengan mereka.

Inisiatif ini mendatangkan efek positif. Menurut survei McKinsey pada 2017, lebih dari 65 persen konsumen fesyen mencari barang-barang yang memperhatikan kelangsungan lingkungan. Sedangkan sebayak 69 persen responden merasa kelestarian lingkungan penting sebagai elemen dalam busana maupuin aksesori yang mereka beli.

Dari sisi produsen, ada sederet label yang mulai memperhatikan kelangsungan lingkungan seperti Nuomi, Icicle dan Exception de Mixmind. Mereka menerapkan produksi ‘zero waste’ dan daur ulang.

Sedangkan retailer besar sejenis H&M mengklaim bahwa mereka bakal konsisten menerapkan daur ulang dalam proses produksi pada 2030.

Perubahan harus dilakukan. Global Fashion Agenda dan Boston Consulting Group melaporkan pada 2020 diperkirakan bakal ada peningkatan konsumsi sebesar 63 persen. Selain itu emisi gas karbondioksida juga akan meningkat sebesar 60 persen.

Perlu ada tekanan dari pemerintah untuk mencegah hal yang buruk terjadi. Di Inggris dan Perancis sudah melakukan hal ini. Bahkan Perancis mengumumkan bakal menjadikan Paris sebagai ‘kota fesyen berkelanjutan’ di dunia pada 2024.

Sementara itu, di China sudah ada undang-undang terkini dan mampu menutup pabrik tekstil secara permanen maupun sementara. Sebenarnya, tak hanya China yang harus bergerak karena dia adalah tersangka sekaligus korban, tapi kita semua.

CNN Indonesia

LEAVE A REPLY