#INDONESIATERSERAH DAN EKOSISTEM PENANGANAN COVID-19

0

Pelita.online – Dr. Firman Kurniawan S

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Pendiri LITEROS.org

Jika makin banyak masyarakat yang abai pada ancaman penularan Covid-19, ~tak patuh pada himbauan psysical distancing, mulai berhamburan keluar rumah dan tak peduli ada di kerumuman~ belum tentu lantaran suka melanggar himbauan. Terlebih jika itu dikaitkan dengan kecerdasan rendah, yang sering jadi olok-olok warga +62 sebagai negara ber-

flower.

Fenomena #Indonesiaterserah seminggu ini, dapat dipandang sebagai gejala sistemik yang saling terkait. Simbolisasi keputusasaannya lewat tanda pagar oleh tenaga kesehatan, adalah puncak gunung esnya.

Lewat sistemiknya gejala, persoalan harus dilihat secara utuh. Terbentuk ekosistem ketakidealan yang saling berpengaruh. Ini merupakan jejaring masalah dan penanganan, yang terbentuk mulai tingkat mikro, meso hingga makro. Sehingga untuk memperbaikinya, mutlak melibatkan unsur yang ada dalam jejaring itu.

Para pihak yang terlibat adalah pemerintah sebagai otoritas sah, media yang menggaungkan wacana, dan masyarakat itu sendiri sebagai subyek maupun obyek penanganan Covid-19.

Pemerintah sejak resmi mengakui adanya warga Indonesia yang positif terjangkit virus, pada 2 Maret 2020, berusaha membangun komunikasi yang anti panik. Nampaknya ini bertujuan agar masyarakat memandang penyebaran virus sebagai hal yang biasa-biasa saja, seraya tetap produktif dengan aktivitasnya sehari-hari.

Walaupun akhirnya aktivitas berpusat di rumah, namun diharapkan tak timbul perubahan besar. Bekerja, belajar dan beribadah di rumah, jadi transformasi normalitas baru. Tujuan lain mencegah kepanikan adalah menghindari penimbunanan bahan kebutuhan pokok, yang dikhawatirkan mengganggu kinerja ekonomi secara umum.

Yang unik dari komunikasi anti panik ala pemerintah ini, justru substansinya yang tak mudah dipahami. Pemerintah sebagai pemimpin orchestra tak jelas hendak melantunkan lagu apa ?

Beberapa kali tercatat inkonsistensi dan kekaburan komunikasi kebijakan, baik vertikal maupun horizontal. Adanya komunikasi vertikal inkonsisten misalnya, manakala Gubernur DKI mencegah mudik prematur lewat larangan bagi kendaraan penumpang, keluar dari DKI. Tak lama aturan keluar, segera dibatalkan oleh Kemenhub RI. Alasannya, belum dikaji dampak ekonominya.

Sedangkan komunikasi tak jelas terkait kebijakan, terjadi dalam mekanisme penyaluran bantuan sosial. Ini berpuncak pada kerasnya pernyataan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), mengoreksi kinerja Menteri Sosial RI. Di kemudian hari, ketakjelasan vertikal ini, memunculkan perselisihan horizontal antara Bupati Boltim dengan Bupati Lumajang. Yang walaupun sebatas perang kata di media sosial, namun memaksa masyarakat menikmati pertunjukan yang bermutu.

Yang konsisten dari inkonsistensi ini adalah produksi pernyataan yang membingungkan. Ini akhirnya jadi wacana di masyarakat. Di antaranya, mudik vs pulang kampung, boleh vs tak jadi boleh mudik, melawan vs damai dengan Covid-19, pelonggaran vs tetap patuh pada PSBB, ijin beroperasi moda transportasi vs ijin perjalanan tertentu, dan yang terbaru batas usia kurang dari 45 tahun untuk kembali bekerja, namun dibantah Menteri Koordinator Perekonomian sebagai bukan kebijakan yang diambil pemerintah.

Unsur kedua dari jejaring adalah media. Media tak kecil kotribusinya pada keadaan tak ideal penanganan Covid-19. Media yang dibicarakan di sini, selain media konvensional yang dimoderasi editor, juga media yang ada di tangan masyarakat. Jenis kedua ini berupa media sosial, yang tanpa didasari moderasi editor ala media profesional.

Jose Luis Orihuela, 2017 dalam The 10 New Paradigm of Communication in The Digital Age, mengemukakan karakteristik baru media di antaranya, non moderator edited. Lewat jenis-jenis media inilah pengetahuan masyarakat terkait Covid-19 terbentuk. Tuntutan awal tentang perlunya lockdown vs tak perlu lockdown, penanganan herd immunity vs vaksin, pemilihan prioritas penyelamatan kesehatan vs penyelamatan ekonomi, hingga perpanjangan vs relaksasi PSBB, adalah silang pendapat masyarakat, yang sering memojokkan pemerintah.

Ini terjadi berdasar pengetahuan yang utamanya dibentuk media. Persoalannya, media yang dimoderasi editor, belum sepenuhnya bisa membuktikan lepas dari kepentingan ekonomi. Mereka mengutamakan perolehan iklan, penyajian informasinya bernuansa click bait dan kental dengan tendensi traffic. Sedangkan media sosial hingga hari ini tak sepenuhnya bisa lepas dari persaingan Pilpres 2019. Kebenaran maupun tak kebenaran seringkali diproduksi berdasar pemihakan pada calon presidan tertentu. Ini semua tentu saja bukan informasi yang memberi kepastian, bagi penanganan Covid-19.

Unsur ketiganya, masyarakat itu sendiri. Mereka adalah subyek dan obyek penanganan Covid-19. Spektrum tanggapan terhadap ancaman penularan sangat bervariasi. Ada yang patuh dan saat ini masih menjalankan himbauan pencegahan penularan. Namun lebih banyak, yang larut pada ketakpedulian.

Kelompok ini bahkan menyangkal eksistensi virus, lewat teori konspirasi. Variasi kepatuhan dan ketakpedulian inilah, sumber masalah besar. Sebagian yang telah patuh, mulai jenuh jalankan himbauan. Bagi mereka, H1 penangan Covid-19 dengan cara yang benar, belum pernah dimulai.

Kelompok inilah yang diduga menggaungkan #Indonesiaterserah. Ketanggapan di masa krisis, melahirkan masa bodoh. Rasa tak berdaya menghadang penularan virus, makin parah oleh ancaman ekonomi yang suram. Maka, daripada lelah mengkarantina diri, tak ada salahnya berbaur di perpisahan McD Sarinah, ikut antrian mudik di Bandara Sukarno Hatta, atau antri belanja jelang Idul Fitri.

Nampak ekosistem abai Covid-19, bukan gejala yang disebabkan satu pihak. Manfaat berkegiatan di rumah yang tak kunjung diperoleh, melahirkan gunung es #Indonesiaterserah. Mengakhiri ekosistem permasalahan, bukan oleh penemuan vaksin saja, namun juga gerakan bersama digerakkan oleh komunikasi yang jelas.

 

Sumber : Sindonews.com

LEAVE A REPLY