Ingin Jadi Organisasi Mandiri, LPSK Keluhkan Anggaran Rendah di Bawah Setneg

0

Pelita.online – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengeluhkan rendahnya alokasi anggaran yang diterima dalam 5 tahun terakhir karena berada dalam Satuan Kerja (Satker) Kementerian Sekretariat Negara. Untuk itu LPSK meminta agar menjadi organisasi mandiri yang lepas dari Sekretariat Negara (Setneg).

“Alokasi (anggaran) tahun 2020 merupakan anggaran terendah yang diterima oleh LPSK sepanjang 5 tahun terakhir. Sejak 2015 hingga 2018, anggaran LPSK berada di kisaran Rp 150 M hingga Rp 75 M. Turun di tahun 2019 menjadi Rp 65 M dengan rencana penambahan anggaran sebesar Rp 10 M,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo dalam diskusi di Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (25/8/2019).

Menurut Hasto, rendahnya anggaran yang diterima LPSK ini tidak terlepas dari dari status LPSK sebagai Satker Kemensetneg. Untuk itu dia menegaskan sudah saatnya LPSK menjadi organisasi mandiri.

“LPSK ini mestinya sudah menjadi organisasi yang mandiri,” ujarnya.

Hasto mengungkapkan, sejak 2014 lalu LPSK sudah harus mempersiapkan menjadi organisasi mandiri. Hal ini terlihat salah satunya dari undang-undang yang mengatur tentang kepala sekretariat di LPSK. Awalnya undang-undang mengatur Kepala Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang sekretaris atau pejabat setingkat eselon II.

“Berdasarkan undang-undang ini LPSK kemudian sekretariatnya dipimpin oleh seorang Sekjen, eselon I, yaitu pak Sidarta, yang sudah mulai aktif tahun 2017. Nah proses transisi menjadi organisasi yang mandiri ini sebenarnya saat ini sedang berjalan, tetapi sampai saat ini anggaran LPSK masih berasal dari anggaran yang disediakan oleh Sekretariat Negara,” kata Hasto.

Status LPSK sebagai organisasi yang dibawahi oleh Kemensetneg membuat pendanaan organisasi tersebut bergantung pada anggaran yang diberikan Kemensetneg. Hal tersebut juga membuat LPSK harus berkoordinasi dengan dua komisi di DPR, yaitu Komisi II dan Komisi III.

“Dari sisi anggaran karena LPSK menjadi Satkernya Kemensetneg, partner di DPR-ya adalah Komisi II. Sedangkan secara substantif karena LPSK ini masuk dalam hukum partenernya di DPR adalah Komisi III,” tuturnya.

Dikatakan Hasto, koordinasi kepada dua komisi di DPR itu membuat LPSK sering mengalami kesulitan. Hal ini karena Komisi III menuntut performa yang lebih baik dari LPSK, sementara anggaran yang diterima dari Kemensetneg semakin menurun.

“Jadi kesulitan LPSK itu karena secara anggaran kita menjadi satkernya Setneg harus berkonsultasi dengan komisi II, tetapi secara substansi kita masuk bidang hukum itu masuk ke komisi III. Nah ini sering kali yang menyulitkan kami untuk melakukan konsultasi dengan rekan komisi III. Komisi III kan yang dipersoalkan biasanya adalah soal substansi, soal layanan kita, mereka tidak terlalu mengerti anggaran yang diterima LPSK selama ini. Ini posisi LPSK yang cukup rumit bagi kita,” imbuhnya.

Namun Hasto pun memaklumi penurunan anggaran yang diterima LPSK dari Kemensetneg. Hal ini karena banyaknya satuan kerja yang berada di bawah naungan Kemensetneg. Dia pun mengharapkan pengesahan PP Nomor 60 tentang Kesekjenan agar LPSK bisa menjadi organisasi yang mandiri dan tidak tergantung alokasi anggaran dari Kemensetneg.

“Oleh karena itu pada tahun 2020 yang mestinya LPSK ini sudah menjadi organisasi yang mandiri, kita sedang drive agar ini bisa segera terealisasi, ini sedang menunggu perubahan PP Nomor 60 tentang Kesekjenan. Kalau PP ini sudah selesai dan disahkan, mudah-mudahan LPSK segera menjadi organisasi atau lembaga yang mandiri. Dengan demikian masalah substansi dan anggaran ini menjadi satu perencanaan,” ucap Hasto.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY