Internet di Tengah Orang-orang Papua dan Keamanan ala NKRI

0

Pelita.online – Periode pemerintah Joko Widodo periode pertama akan berakhir dalam hitungan hari. Setahun setelah memimpin, Jokowi meresmikan layanan 4G LTE secara nasional yang menandakan ketersediaan akses komunikasi dan internet cepat di seluruh Indonesia.

Akses internet yang tersedia di seluruh Indonesia diharapkan bisa mendorong kemudahan akses hingga peningkatan pemerataan ekonomi di daerah.

Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna internet di era awal kepemimpinan Jokowi hingga akhir 2014 mencapai 88 juta orang. Jumlah ini meningkat menjadi 132,7 juta pada akhir 2016 setelah operator melakukan ekspansi ketersediaan jaringan ke sejumlah wilayah di Indonesia.

Hingga akhir 2018, APJII mencatat 171,17 juta jiwa sudah terpapar internet atau setara 64,8 persen. Sementara total populasi penduduk Indonesia saat itu 264,16 juta orang.
Hanya saja, ketersediaan akses internet ini justru menjadi pisau bermata dua bagi masyarakat. Akses internet yang tersedia di berbagai daerah justru membuat pemerintah menerapkan ‘aksi asal blokir’ saat merespons sejumlah peristiwa.

Kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada Mei lalu dan Jayapura, Papua pada 29 Agustus lalu menjadi bukti sikap asal pemerintah menangani krisis yang kemudian memicu aksi protes. Alih-alih meredam gelombang protes, pemerintah justru melakukan aksi blokir jaringan internet di 29 wilayah di Papua dan Papua Barat selama dua pekan mulai 21 Agustus 2019.

Pengamat media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi menilai aksi pemblokiran internet oleh Kemenkominfo sebagai cara konvensional dengan dalih menjaga kepentingan keamanan negara.

“Menurut saya, langkah pemblokiran internet jika dipandang dari sisi keamanan merupakan salah satu cara konvensional. Selain itu, ada juga pendekatan mengirim pasukan misalnya,” kata Ismail kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (18/10).

Standar Ganda Ekspansi Internet vs Aksi Halau HoaksAksi demo pemblokiran akses internet di Papua pada akhir Agustus 2019. (Foto: CNN Indonesia/ Jonathan Patrick)

Ismail mengatakan pemerintah sebenarnya bisa meniru cara negara-negara maju dalam menghindari penyebaran informasi palsu dan hoaks secara masif yang memanfaatkan media sosial. Negara-negara maju memanfaatkan menghalau hoaks menggunakan akses internet untuk menyampaikan informasi yang benar.

Dengan cara itu, Ismail menilai masyarakat bisa membantu pemerintah menekan penyebaran hoaks.

“Kalau di negara maju, mereka berupaya untuk menyampaikan informasi yang benar. Secara langsung, mereka juga mengajak publik untuk membantu pemerintah [untuk menekan penyebaran hoaks],” terangnya.

Pemblokiran internet menurut Ismail bukan hanya menyulitkan komunikasi masyarakat Papua dan Papua Barat saat itu. Masyarakat juga kesulitan mendapatkan informasi yang benar terkait kondisi sebenarnya di Papua.

“Sebetulnya, pemblokiran internet membuat masyarakat sulit mendapat informasi yang benar. Jadi mereka tidak bisa mendapatkan informasi terkait kondisi di Papua,” pungkasnya.

Di sisi lain, pengamat keamanan siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya justru menilai pemblokiran akses internet sebagai hal wajar menyikapi kondisi negara memasuki status darurat.

“Pembatasan kemarin [akses internet di Papua] tujuannya untuk menghambat penyebaran hoaks yang digunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan Papua. Itu sah-sah saja dan memang diperlukan dalam keadaan darurat,” tulis Alfons melalui pesan singkat yang diterima, Kamis (17/10).

Menurut Alfons, keputusan blokir internet dilakukan Kemenkominfo setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan pihak terkait seperti kepolisian dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY