Kontroversi, Kepala Daerah Dipilih DPRD Tak Jamin Nihil Korup

0

Pelita.online – Fraksi Partai Gerindra, PKB dan PPP di DPR memiliki pendapat berbeda soal pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dipilih langsung oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan wacana revisi UU No. 10 tahun 2016 agar pilkada dikembalikan ke DPRD.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sodik Mudjahid menganggap penyelenggaraan pilkada lewat DPRD bisa meminimalisir tindak pidana korupsi yang kerap menjerat kepala daerah beberapa waktu terakhir.

Menurutnya, pilkada lewat DPRD bisa meminimalisir korupsi dilakukan oleh kepala daerah bila faktor pendukung lainnya ikut diawasi. Seperti mahar politik atau politik uang yang kerap dilakukan oleh para calon kepala daerah.

“Bisa meminimalisir, jika juga faktor-faktor lain juga diperbaiki dan dijaga. Misalnya, biaya mahar ke partai, biaya money politic ke anggota DPRD, dan lain-lain,” kata Sodik lewat pesan singkat kepada, Rabu (20/11).

Dia menilai pilkada langsung merupakan salah satu faktor yang membuat sejumlah kepala daerah melakukan korupsi. Itu dilakukan demi mengembalikan uang yang mereka gunakan saat berkampanye.

Namun, lanjutnya, kajian terhadap sistem pilkada langsung tidak bisa dilakukan hanya dengan berfokus pada masalah korupsi kepala daerah. Menurutnya, evaluasi terhadap pilkada langsung harus dilakukan secara menyeluruh.

“Banyak faktor yang bisa mendorong seorang kepala daerah untuk melakukan korupsi. Pilkada langsung salah satu faktor yang dinilai berpengaruh,” ucap Sodik.

Terpisah, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ibnu Multazam mengatakan bahwa penyelenggaraan pilkada lewat DPRD tidak berkaitan secara langsung dengan korupsi yang kerap terjadi di lingkup kepala daerah.

Pasalnya, menurut dia, pilkada lewat DPRD tidak menjamin calon kepala daerah mengeluarkan biaya yang lebih sedikit untuk terpilih. Dengan kata lain, calon kepala daerah tetap mengeluarkan uang untuk melobi anggota DPRD demi meraih kemenangan.

“Kaitan (sistem pilkada langsung dengan korupsi kepala daerah) mungkin ada, tapi tidak secara langsung. Bila pilkada dipilih lewat DPRD bukan berarti menghilangkan biaya sama sekali. Jangan-jangan kalau disetujui lewat DPRD, biaya jadi banyak karena DPRD dan kepala daerah melakukan lobi-lobi,” kata Ibnu.

Namun, dia menerangkan bahwa PKB belum menentukan sikap terkait sistem pilkada yang tepat untuk diterapkan selanjutnya. Apakah tetap secara langsung dengan menyerahkan kepada rakyat untuk memilih atau pemilihan dilakukan melalui DPRD seperti dulu.

Menurutnya, PKB akan melakukan kajian secara menyeluruh lebih dahulu terhadap sistem pilkada langsung yang telah berjalan sejak 2005.

“Harus dikaji dulu sedemikian rupa sehingga ada satu kesimpulan. PKB masih mendalami sikap terakhirnya,” tutur Ibnu.

Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi mengatakan sistem pilkada lewat DPRD bukan satu-satunya opsi solusi untuk menekan biaya politik tinggi yang kerap menyebabkan sejumlah kepala daerah melakukan korupsi.

Menurutnya, kepala daerah melakukan tindakan korupsi karena ingin mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama berkampanye.

Oleh karena itu, opsi lain yang bisa menekan biaya politik yang tinggi di pilkada, antara lain memangkas masa kampanye, memotong biaya saksi, hingga menegakkan aturan hukum.

“Kampanyenya dipangkas jadi separuh, biaya saksi, ketentuan mahar politik dipidana, bahkan kalau perlu partainya dibubarkan. Ini saya kira membuat orang jera (korupsi), kalau masih menggunakan pilkada langsung,” kata sosok yang akrab disapa Awiek itu.

Wacana pengkajian atas penerapan sistem pilkada langsung menguat. Rencana itu diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Dia meminta publik tak menutup mata bahwa biaya politik yang dikeluarkan untuk maju sebagai kepala daerah melalui pilkada langsung, sangat tinggi. Mulai dari APBN dan APBD yang dikeluarkan pemerintah, hingga biaya politik yang dikeluarkan calon demi mendapat kendaraan politik dari partai dan saat berkampanye.

Tito ingin ada pengkajian mendalam terhadap pilkada langsung yang diterapkan sejak 2005.

“Bupati kalau enggak punya 30 M, enggak akan berani. Wali Kota dan Gubernur lebih tinggi lagi. Kalau dia bilang enggak bayar, 0 persen, saya mau ketemu orangnya,” ujar Tito dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin (18/11).

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY