KTT Asia Bahas Isu Keamanan

0

Singapura, PelitaOnline.id – Di samping isu Laut Cina Selatan dan Korea Utara, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keamanan Asia belum lama ini di Singapura, menjadikan keamanan dunia siber sebagai fokus pembicaraan guna meningkatkan koordinasi di tengah pertumbuhan kasus peretas kelas tinggi.

Pasalnya, Bank Sentral Bangladesh dikejutkan dengan pencurian 81 juta dolar AS oleh para peretas pada Februari, menjadikannya sebagai salah satu kasus terbesar di dunia dalam pencurian dunia siber atau maya.

Imbasnya, isu keamanan dunia siber menjadi perhatian utama dalam pertemuan tahunan Dialog Shangri-la di Singapura.

Pertemuan itu, untuk pertama kali, mengalokasi satu dari enam sesi khususnya membahas keamanan dunia siber.

“Situasi ini cukup mengindikasikan bagaimana dunia siber berubah dari mulanya dinilai sebagai ancaman logis, menjadi ancaman fisik,” ungkap William Saito, penasihat khusus kabinet Jepang dalam strategi informasi dan teknologi (IT).

Pihak Jepang sendiri mengaku pengamanan atas infrastruktur penting merupakan tindakan wajib, khususnya sejak negara itu didapuk sebagai penyelenggara Olimpiade pada 2020, diterangkan bahwa keamanan dunia siber adalah bagian dari upaya pengamanan negara tersebut, tukasnya.

“Dunia siber memungkinkan adanya aksi lintas sektoral, berujung pada ancaman yang kian buruk,” terang Saito.

Para penjahat dunia maya, baik dari kelompok kriminal atau para pemberontak biasa beroperasi di luar batas negara, ungkap pertemuan itu.

“Saat batasan berbeda, pihak itu memanfaatkannya untuk mengambil keuntungan dari sistem nasional kita,” terang David Koh, Kepala Eksekutif Agen Keamanan Dunia Maya Singapura.

“Kita tidak dapat bertahan atau melihat ancaman dunia siber dalam batas negara bahkan kawasan.” Dalam kasus pencurian Februari itu, peretas mencuri uang dari akun Bank Bangladesh di Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) di New York.

Uang hasil curian yang dipindah ke salah satu entitas Sri Langka berhasil dikembalikan.

Namun, empat transfer lain senilai 81 juta dolar AS berputar di kasino dan agen kasino Filipina.

Sebagian besar dana itu dikabarkan masih hilang, sementara identitas perentas belum diketahui.

India, negara dengan 500 juta pengguna internet tengah menyiapkan 500 ribu detektif dunia maya (cybersleuth) dalam lima tahun terakhir, ungkap seorang delegasi dari New Delhi di konferensi tersebut.

“Aksi itu dinilai mampu menyediakan benteng pertahanan bagi keamanan dunia maya global,” ungkap Santosh Jha, sekretaris gabungan untuk isu dunia maya Kementerian Luar Negeri India.

Faktor kepercayaan Pembangunan sistem pertahanan jaringan siber trans-nasional cukup dihambat oleh perbedaan banyak negara, ditambah rendahnya tingkat kepercayaan antar negara, terang seorang delegasi.

Misalnya saja, negara-negara Barat tengah fokus pada pengamanan infrastruktur dunia siber, sementara China dan Rusia lebih fokus pada kontennya.

Negara-negara rival itu juga menggunakan teknik siber untuk misi spionase.

Meski, setelah sekian tahun bersitegang atas tuduhan mata-mata dunia siber, pejabat urusan dunia maya Amerika Serikat dan China mengadakan pertemuan resmi pertama bulan lalu, menindaklanjuti kesepakatan anti-retas kedua negara pada September.

“Anda memiliki keanggotaan tetap pada Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-bangsa, menghadiri pertemuan ini dengan tujuan berbeda, dan tampaknya bukan hal mengejutkan jika pencapaian ini terjadi pada waktu yang cukup tepat,” ungkap Sean Kanuck, mantan pegawai Intelijen Nasional AS untuk masalah dunia siber.

Kebutuhan saat ini adalah “menemukan kepentingan bersama, sehingga aksi selanjutnya dibangun dari hal tersebut.” Tak ada negara yang dapat mengamankan jaringan sibernya sendiri, Koh mengungkap.

“Kita mesti memahami urgensi isu ini, dan mulai bekerja sama bertindak berdasarkan kepentingan keamanan bersama tersebut.” (Ant/Reuters)

LEAVE A REPLY