Mantan Pendukung Jokowi Ingin 2019 Ganti Presiden

0

Pelita.Online – Satu persatu pendukung Joko Widodo bergelar mantan. Kali ini, Dadan Hamdani, pemilik akun Twitter @Jokowers, Komunitas Relawan Sadar (Korsa) dan Pro Demokrasi (Prodem) menarik dukungannya. Mereka pun mendukung 2019 ganti presiden.

“Saya kecewa. Lebih tiga tahun menjabat, Pak Jokowi tidak mewujudkan janjinya untuk rakyat, dan malah menyimpang dari semangat Nawa Cita,” kata Dadan Hamdani, kepada INDOPOS di Jakarta, Minggu (25/3).

Dulu, Dadan Hamdani adalah pendukung berat Jokowi. Tak main-main, akun Twitter @jokower memiliki follower cukup besar, yakni 80 ribu akun.

“Saya dan teman-teman pendiri Jokowers menyatakan kecewa terhadap Jokowi yang sudah lebih dari tiga tahun pemerintahannya, tidak bisa memberikan bukti berpihak terhadap rakyat,” kata Dadan lagi.

Dadan menyatakan, bentuk kekecewaannya ini karena Jokowi telah menyimpang dari semangat nawa cita atau sembilan program yang digagas, sebagai prioritas menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

“Kami merasa pemerintahan Jokowi ini sudah menyimpang dari nawa cita. Dan kami selaku relawan sangat kecewa. Ternyata pemerintahan ini tidak seperti yang kami harapkan saat kami mendukungnya di 2014 lalu,” ucapnya.

Berbagai kebijakan yang ia ungkapkan di antaranya adalah mengenai utang. Dia mengaku utang lebih dari Rp 4.000 triliun per Februari 2018 ini sudah menunjukkan kerawanan negara di kemudian hari.

“Bagaimana mungkin negara bisa memiliki kewibawaan di mata internasional jika dibangun atas utang. Kalau pada akhirnya negeri ini harus tergadaikan. Bahkan anehnya, utang banyak ternyata tak berefek positif pada kesejahteraan rakyat. Semua jadi serba mahal,” keluhnya.

Janji kemandirian ekonomi, atau peningkatan produktivitas rakyat sebagaimana yang ada di program nawa cita, kata Dadan juga tidak tercipta.

Salah satu contoh adalah kemandirian ekonomi untuk para petani tak terlihat. Bahkan hidup para petani semakin miskin. Karena semua produk hasil pertanian yang beredar di masyarakat ternyata masih saja impor.

“Katanya ingin Swasembada, tapi kenyataannya kita malah makin memperbesar ruang impor pangan yang makin tak terkendali. Mirip gejala orang gagal diet. Bukannya makin sehat justru makin tak terkendali nafsu impornya,” imbuhnya.

Slogan swasembada yang selama ini didengungkan, kata Dadan hanya enak didengar namun pahit diterima masyarakat.

“Ini dari awal bisa dilacak begitu gegabahnya narasi Swasembada yang ditangani oleh person-person AJS (asal Jokowi senang) yang begitu receh dan remehnya teriak swasembada, namun realitanya nol (kosong),” tukasnya.

Nawa cita lainnya yang dianggap menyimpang, kata Dadan adalah cideranya kemandirian politik, serta penciptaan ruang dialog warga. Yang ada, ucapnya,  justru rakyat makin terkekang dalam penyampaian kritik.

“Ketika kita bicara hak konstitusional serta kebebasan berpendapat dan berkeyakinan, eh malah dijawab dengan Perppu Ormas. Kini negara justru sudah menjadi aktor anti kebebasan berpendapat dan berkeyakinan,” cetusnya.

Lalu, apakah atas pernyataan ini menginginkan pergantian presiden di 2019? Dadan secara tegas menyatakan hal itu bisa saja terjadi.

“Saya memahami Jokowi adalah orang baik. Namun karena orang-orang di sekitarnya masih itu-itu aja, maka kami sudah sejak awal tahun 2018 ini menyatakan sikap  berubah haluan untuk mendukung calon alternatif di 2019 nanti.  Yakni mencari  pemimpin negara yang bisa mewujudkan meningkatkan kesejahteraan rakyat,” terangnya.

Dirinya pun mengaku sejumlah kritikan dari para  relawan sudah pernah disampaikan langsung ke Jokowi,  namun tidak pernah direalisasikan.

“Kami para relawan pernah diundang ke Istana Negara di tahun 2017 lalu. Namun hingga berganti tahun ternyata masukan kami itu tidak pernah didengarkan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dirinya menandaskan bahwa perubahan sikap para relawan ini tidak ada hubungannya dengan sikap ‘sakit hati’ karena tidak diberi jabatan di pemerintahan.

“Saya dan teman-teman para pendiri Jokowers tidak pernah berfikiran untuk mencari jabatan. Kami murni ingin mewujudkan cita-cita bangsa, yakni kesejahteraan dan keadilan sosial dan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar wiswastawan ini.

Lalu, bagaimana nasib Jokowers? Dadan kembali mengungkapkan bahwa akun Jokowers di Twitter dan FB masih ada, namun keanggotaannya mulai dikurangi.

“Awal terbentuk sampai 450 ribu pengikut. Kini di bulan Maret 2018 tinggal 80 ribu-an follower di Twitter maupun FB. Bisa jadi nanti di 2019 akun Jokowers ini akan kami hentikan,” bebernya.

Tak hanya dari Jokowers, relawan Jokowi lainnya dari Pro Demokrasi (Prodem) sebelumnya juga menyatakan ‘taubatan nasuha’ karena sudah memilih mantan walikota Solo itu di Pilpres 2014 lalu.

Kepada INDOPOS, Sekjen Prodem Satyo Purwanto menegaskan, tiga tahun di bawah kepemimpinan Jokowi, membuktikkan makin berkuasanya neoliberalisme di Indonesia.

“Trisakti dan Nawacita yang digadang-gadang sebagai solusi melawan neolib, nyatanya hanya menjadi kedok meraup suara rakyat,” kata dia.

Sama halnya dengan Dadan dari Jokowers,  Satyo juga mengatakan, seabrek kebijakan Jokowi telah membuat rakyat makin miskin.

Diantaranya menumpuk utang hingga Rp 4.000 triliun, membuka kran impor produk kerakyatan seperti beras, garam dan daging, membuka masuknya tenaga kerja asing, membuat undang-undang yang anti demokrasi seperti UU ITE, UU Ormas dan UU MD3, mencabut subsidi, membiarkan arogansi aplikator mengisap driver online, merupakan wujud bengis neoliberalisme.

“Dan untuk menghentikannya, tidak ada jalan lain selain usir neolib dari bumi Nusantara ini yang berada di lingkaran Istana Jokowi,” tegasnya.

Bahkan, kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi ini, ujar Satyo juga diperlihatkan saat Prodem melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Negara pada pertengahan bulan ini. “Seminggu yang lalu kami juga sudah melakukan demonstrasi. Ini bukti bahwa kami kecewa. Karena Jokowi ternyata tidak berpihak pada rakyat, namun hanya kepada golongan tertentu,” tegasnya.

Lebih lanjut dirinya juga mengaku menginginkan di 2019 nanti, Jokowi hanya satu periode. “2019 harus ganti presiden. Cari sosok presiden yang bisa usir Neolib dari NKRI RI, yang bisa mengawal Konstitusi dan bukan hanya pencitraan untuk melayani rakyat,” pungkasnya.

Tidak hanya Jokowers dan Prodem, ada kelompok relawan lain yang menyatakan menyesal mendukung Jokowi, yakni Komunitas Relawan Sadar (Korsa).

Amirullah Hidayat, selaku Koordinator Korsa menilai Jokowi gagal menepati janji kampanye, gagal dalam menghentikan utang luar negeri, dan gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Kondisi negara mengalami kolaps atau hancur di semua bidang. Salah satunya dapat dilihat dari utang yang telah mencapai Rp 4.000 triliun lebih dan tidak punya kemampuan bayar. Menteri Keuangan Sri Mulyani malah mengatakan pemerintah akan menambah utang untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo,” ujarnya.

Dia juga menyoroti gelombang tenaga kerja asing yang belakangan ini hadir di Indonesia. Sementara di sisi lain, jumlah pengangguran usia produktif di dalam negeri masih tinggi.

“Kita sayangkan statement presiden agar izin tenaga kerja asing dipermudah,” tambah tokoh muda Muhammadiyah ini.

Menanggapi hal ini, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center  Pangi Syarwi Chaniago  menilai penarikan dukungan itu merupakan ancaman besar bagi Jokowi.

“Ini tentu akan merugikan Jokowi. Apalagi elektabilitas Jokowi masih di bawah 50 persen,” kata Pangi kepada INDOPOS.

Pangi juga mengungkapkan tuntutan para mantan pendukung itu harusnya menjadi perhatian serius bagi Jokowi. Sebab, bisa saja aksi ProDem dan Korsa, serta memudarnya keanggotaan Jokowers merupakan fenomena gunung es.

“Itu harus diantisipasi oleh Jokowi. Bisa saja gelombang kekecewaan itu akan terus muncul dan bergelombang. Jika tidak, tentu akan menurunkan citra Jokowi,” pungkasnya.

indopos.co.id

LEAVE A REPLY