Memahami Brexit dari Mata Empat Sahabat

0

Pelita.online – Tidak ada yang lebih membingungkan ketimbang Brexit. Walau saya hanya imigran, namun saya memahami kebingungan akan hal tersebut dari teman-teman sekantor dan sepermainan saya yang warga asli Inggris.

Sebut saja nama saya Sara. Saya sudah tinggal di Inggris, tepatnya di area Blackheath, sejak empat tahun yang lalu. Saya menetap di area ini bersama tiga orang teman dalam satu apartemen.

Dua teman saya merupakan pasangan gay, warga negara Inggris. Yang satu bekerja di bank, satunya lagi sedang meniti karier sebagai aktor di dunia teater.

Sedangkan satu teman yang lain merupakan imigran dari Denmark. Ia bekerja untuk perusahaan animasi.

Saya sendiri baru lulus S2 dan sedang magang di salah satu perusahaan fesyen.

Kami berempat bersua dari komunitas pencari teman sewa rumah di Facebook. Saat pertama pindahan kami memang belum terlalu akrab. Namun lama kelamaan kami jadi bersahabat.

Dilema Brexit sangat dirasakan oleh teman saya yang berasal dari Denmark. Sebut saja namanya Erik.

Erik mengaku bingung dengan visa kerjanya jika Inggris resmi keluar dari Uni Eropa – yang saat ini kembali ditangguhkan hingga akhir bulan Januari tahun 2020.

Sederhananya, untuk mendapat izin permanent residency di Inggris, imigran harus menetap minimal lima tahun. Imigran seperti saya dan Erik wajib menetap satu tahun lagi. Sialnya di saat menanti “kelulusan” isu Brexit berembus.

Saya pribadi tidak menganggap Brexit menyulitkan izin kerja atau tinggal saya sebagai warga negara Indonesia. Pasalnya, sebelum ada Brexit saja pengurusannya sudah sulit hahaha…

Tapi bagi Erik, yang negaranya tergabung dalam Uni Eropa, ia merasa khawatir jika setelah Brexit nantinya Inggris “mengacak-acak” peraturan bagi penduduk Uni Eropa, yang selama ini banyak mendapat keistimewaan atas mufakat negara sahabat.

Selain perizinan, Erik juga khawatir dengan naiknya pajak bagi imigran usai Brexit. Jika isu pajak penghasilan imigran benar dinaikkan, maka impiannya untuk membeli rumah di kampung halamannya harus kembali tertunda.

“Erik, berarti kamu harus mulai berhemat dengan tidak terlalu sering mengajak cewek dari Tinder untuk brunch atau clubbing,” Erik hanya bisa manyun jika saya candai begitu.

Sementara teman saya yang warga negara Inggris, sebut saja namanya Alex dan Irvin, juga memiliki kegelisahan akan Brexit.

Alex yang bekerja di bank seringkali harus bepergian ke luar negeri, terutama ke Prancis dan Belanda, untuk urusan kerjaan.

Kalau Brexit jadi diketok palu, ia khawatir urusan melintas di perbatasan akan semakin bertele-tele.

Di antara kami, Alex memang orang yang paling taktis, ekonomis, dan sistematis. Jika sedang traveling bareng, Alex orang yang paling tepat waktu. Ia mengemas barang bawaan paling sedikit, sehingga tak perlu masuk bagasi pesawat. Jalannya juga paling cepat.

Alasannya ia malas berlama-lama di stasiun kereta, pelabuhan, atau bandara. Ia ingin segera menjangkau objek wisata yang bakal kami tuju. Anggapan kami, mungkin karena setiap hari ia bekerja melihat angka sehingga harus selalu berpikir singkat dan rasional hahaha…

Irvin punya kebingungan lain. Ia sebenarnya paling malas membicarakan Brexit, karena hanya berujung pada perdebatan. Apalagi isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa juga mulai ditunggangi oleh kelompok “pembenci imigran”.

Ia mengaku selalu silam dari perbincangan soal Brexit saat di antara teman-teman teaternya atau di tengah pesta. Irvin ialah orang yang paling komunikatif dan paling sosial yang pernah saya temui.

Melihat dirinya pulang lebih awal dari pesta pada suatu malam karena seluruh tamunya membicarakan Brexit menjadi pemandangan lucu bagi saya, karena biasanya jika datang ke pesta ia suka lupa untuk pulang ke rumah.

“Oh seandainya Brexit tidak pernah tercetus… Mengapa sekarang malah ada kelompok anti-imigran? Tidakkah mereka tahu kalau sangat bosan melihat semua orang berkulit putih dan bermuka pucat di sini??” kata Irvin yang langsung disambut tawa kami malam itu.

Di samping masalah Brexit, Inggris juga masih punya pekerjaan rumah dalam hal pemberantasan teror dan gelandangan.

Saya lebih prihatin dengan isu gelandangan, karena jumlahnya sepertinya semakin banyak. Protes seniman Banksy dengan coretan graffiti-nya di Birmingham seakan menjadi puncak kerisauan akan isu ini.

Biaya hidup di London mungkin semakin mahal bagi sebagian besar orang, yang akhirnya harus kehilangan aset berharganya dan menjadi gelandangan.

Saya tidak pernah memberikan uang langsung kepada mereka di pinggir jalan. Sebaliknya saya menyumbang melalui donasi resmi sehingga bantuannya bisa disalurkan lebih terarah, terutama kepada mereka yang wanita bersama anak kecil, lansia, dan kaum difabel.

Hidup merantau amatlah sarat tantangan. Sesungguhnya mereka yang masih bisa bertahan bertahun-tahun di negeri orang memiliki semangat juang yang tinggi.

Pesan saya bagi kalian yang ingin merantau ke luar negeri, milikilah rencana jangka panjang. Jalani rencana tersebut, jangan hanya jadi wacana. Tak lupa disiplin menabung, terutama untuk kebutuhan mendesak seperti saat sakit atau pengurusan izin kerja dan menetap.

Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa “curahan hati” dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: [email protected] / [email protected] / [email protected]

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY