Meski Tak Usul, Eks Plt KPK Indriyanto Setuju Semangat Revisi UU KPK

0

Pelita.online – Mantan Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji angkat bicara mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2012 tentang KPK yang ramai dibahas belakangan ini. Indriyanto mengaku setuju semangat yang terkandung dalam Revisi UU KPK itu.

Indriyanto awalnya bicara mengenai KPK di era kepimpinannya yang menghendaki harmonisasi setiap peraturan perundang-undangan tentang penegakan korupsi. Ini sekaligus menjawab soal adanya anggapan pimpinan KPK di era Indriyanto dkk setuju atas usulan Revisi UU KPK.

“Saya harus ingat-ingat dulu karena setahu saya, era kami, menghendaki adanya harmonisasi dan sinkronisasi di antara UU Tipikor, KUHP/KUHAP, sebelum dilakukan revisi UU KPK. Tapi andaikata benar pernah kami lakukan secara kolegial, maka sekarang ini saya punya pendapat tentang Revisi UU KPK: ‘Pendekatan Restorative Justice Revisi UU KPK’ atau ‘Revisi UU KPK & Optimalisasi Pengembalian Keuangan Negara’,” kata Indriyanto, Sabtu (7/9/2019).

Bagi Indriyanto, diskursus mengenai Revisi UU KPK ini hanya masalah metode pendekatan saja. Indriyanto menilai UU KPK harus dievaluasi dengan memperkuat basis pencegahan.

“Polemik Revisi UU KPK hanyalah soal metode pendekatan saja. Revisi harus dipahami dari sisi restorative justice ataukah deterrent effect (efek jera). Sangat dipahami bahwa pelaksanaan UU KPK setelah 17 tahun berjalan memerlukan evaluasi dengan basis penguatan filosofi arah dan tujuan UU ini, yaitu rehabilitasi dengan basis pencegahan,” ujar dia.

“Inisiatif DPR atas UU KPK ini memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif yang menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata deterrent effect (efek jera). Dari perjalanan kasus-kasus korupsi, pola dan cara penindakan dengan efek jera tidak memberikan manfaat pengembalian optimal keuangan negara, karena itu fiilosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama,” sambung dia.

Indriyanto menganggap enam titik evaluasi UU KPK sebagai mix methods yang merupakan gabungan atas evaluasi pencegahan dan penindakan sebagai sesuai yang baik ke depannya. Dia mencontohkan keberadaan dewan pengawas yang dinilai sebagai hal yang wajar.

“Salah satu evaluasi pasal, misalnya tentang dewan pengawas adalah sesuatu yang wajar, karena pada negara demokratis, bentuk Auxiliary State Body seperti KPK (yang super body) disyaratkan adanya Badan Pengawas yang independen (MA dengan KY, Polri dengan Kompolnas, Kejaksaan dengan Komjak),” ujar dia.

Indriyanto juga mencontohkan salah satu poin dalam Revisi UU KPK yaitu SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Menurut dia, adanya SP3 diharapkan dapat memenuhi aspek kepastian hukum.

“Misalnya juga soal penghentian penyidikan bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan eksepsional sifatnya, misalnya saja, seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan Unfit to Stand Trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya,” imbuhnya.

Terlepas dari adanya kritikan dari sejumlah pihak terkait usulan Revisi UU KPK itu, Indriyanto menilai mixed methods antara pencegahan dan penindakan merupakan usulan insiatif DPR yang prospektif. Bagi mereka yang tidak setuju, kata Indriyanto, sudah ada mekanisme tersendiri untuk menyalurkan aspirasinya.

“Bahwa ada keberatan dari masyarakat sipil anti korupsi dan pengamat, karena persepsi dan pola pendekatannya yang berbeda dan masih dengan pendekatan efek jera. Mixed Methods DPR tanpa menghilangkan pola penindakan KPK, diapresiasi sebagai usulan inisiatif DPR yang wajar dan prospektif ke depan, sehingga tidak perlu dicurigai dan adanya kekhawatiran. Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini,” tuturnya

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY