MUI Monopoli Fatwa, UU Jaminan Produk Halal Diminta Direvisi PBNU

0

Pelita.online – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH) direvisi. Hal ini disampaikan langsung kepada pembuat UU lewat surat rekomendasi. PBNU menilai UU ini bermasalah dilihat dari sejumlah aspek.

“Jadi, berdasarkan rapat pleno PBNU yang diselanggarakan pada 20-22 September 2019 lalu, kami mengeluarkan rekomendasi tentang revisi UU JPH. Rekomendasi ini sudah kami sampaikan ke Presiden, Komisi VII DPR dan Baleg DPR,” kata Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas saat dihubungi, Jumat (6/12/2019).

Robikin menjelaskan, UU JPH ini bermasalah dilihat dari tiga aspek penting, yaitu aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Hal ini juga tertuang dalam rekomendasi tersebut. Dilihat dari aspek filosofis, UU ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum.

“Secara filosofis, UU ini bertentangan kaidah dasar hukum, yakni ‘al ashlu fil asyiya al ibahah illa an yadulla dalil ‘ala tahrimiha’ yang artinya ‘pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan’,” paparnya.

Dia juga menilai UU ini juga bermasalah jika dilihat dari aspek sosiologis. Ditambah lagi, kata dia, UU ini akan mempersulit konsumen dan produsen, karena terlalu banyak yang perlu disertifikasi.

“Secara sosiologis, masyarakat Indonesia itu mayoritas muslim. Berbeda dengan di negara lain di mana muslim merupakan penduduk minoritas, sehingga yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi adalah kelompok minoritas dari segi konsumsi makanan haram. Selain itu, UU ini juga bisa menambah beban biaya konsumen dan mengurangi daya saing produsen, karena terlalu banyak yang disertifikasi,” jelas pria yang turut merumuskan rekomendasi ini.

“Maka dari itu, kami merekomendasikan agar lembaga seperti Badan POM diperkuat,” sambungnya.

Sementara itu, dari sisi aspek yuridis, dia menyebut UU ini bermasalah bila dipandang dari teori distribusi kewenangan UU. Selain itu, dia memandang UU ini memberikan monopoli fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan UU ini juga bermasalah. Selain itu, norma dalam UU ini memberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI untuk menerbitkan fatwa. Padahal, berdasarkan UUD 1945, kewenangan menerbitkan fatwa hanya berada di cabang yudikatif qq. Mahkamah Agung (MA) RI,” tuturnya.

Sebelumnya, lewat KMA Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal, Menag Fachrul Razi telah menugaskan BPJPH Kemenag, MUI, dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI untuk mengurusi sertifikat halal.

“Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikat halal sebagaimana dimaksud diktum Keempat belum ditetapkan, besaran tarif layanan sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada MUI dan LPPOM MUI yang memberikan sertifikasi halal sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait jaminan produk halal berlaku,” demikian bunyi Diktum Kelima dalam SK yang ditandatangani pada 12 November 2019.

Penunjukan LPPOM MUI ini bertentangan dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Halal. Di mana lembaga penguji halal boleh dibuat oleh lembaga mana pun, sepanjang memiliki laboratorium yang memenuhi syarat. Namun Kemenag menilai ini tidak bertentangan dengan UU karena KMA itu dianggap sebagai diskresi.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY