Menag Kembalikan Urusan Cap Halal ke MUI, Aturan Tarif Jadi Sebab

0

Pelita.online – Menteri Agama Fachrul Razi mengemballikan kewenangan pemberian sertifikasi halal ke Majelis Ulama Indonesia (MUI), padahal sebelumnya sudah ada undang-undang yang memerintahkan Kemenag untuk mengurusi cap halal itu. Ada alasan kenapa Kemenag mengembaikan kewenangan itu ke MUI.

“Ini masa transisi saja sampai semuanya sudah terpenuhi dan organisasi Kemenag sudah terbangun dengan baik,” kata Wakil Menteri Agama (Wamenag), Zainut Tauhid Saadi, kepada wartawan, Jumat (6/12/2019).

Dia menyatakan tak akan selamanya MUI akan menjadi otoritas penerbit sertifikat halal, melainkan hanya sementara. Pada saatnya nanti ketika Kemenag dan aturan yang mendukungnya sudah lengkap, maka Kemenag akan menjadi otoritas penerbit sertifikat halal lagi.

Jadi, yang melatarbelakangi pengembalian urusan cap halal ke MUI karena Kemenag belum maksimal mengurusi layanan sertifikasi halal itu. Badan Kemenag yang mengurusi sertifikat halal itu adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

“Pada praktiknya, BPJH Kemenag yang diberikan kewenangan sertifikasi halal memang belum bisa melaksanakan tugas dan fungsi tersebut secara maksimal. Ada faktor sumber daya manusia, sistem, dan organisasi yang belum maksimal,” kata Zainut.

Sebab selanjutnya, Kemenag juga masih menantikan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) yang mengatur tarif layanan sertifikasi halal. Di sisi lain, layanan sertifikasi produk halal harus terus berjalan tanpa bisa berhenti dulu.

“Khawatirnya ini terjadi kevakuman layanan sertifikasi halal. Maka Pak Menag mengeluarkan kebijakan itu, untuk sementara pelaksanaan tugas itu dikembalikan kepada MUI namun tetap bekerjasama dengan BPJH Kemenag,” kata Zainut.

“Di masa transisi ini perlu ada diskresi yang dimungkinknan juga di dalam peraturan perundang-undangan,” kata dia.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi BPJH, Mastuki, memberi penjelasan senada. Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal itu terbit sebagai diskresi supaya layanan sertifikasi halal tetap berjalan.

“Jadi KMA sifatnya diskresi dan mengisi agar tak terjadi kekosongan hukum dalam layanan sertifikasi halal, terutama soal tarif,” kata Mastuki.

Lewat KMA Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal, Menag Fachrul Razi telah menugaskan BPJPH Kemenag, MUI, dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI untuk mengurusi sertifikat halal.

“Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikat halal sebagaimana dimaksud diktum Keempat belum ditetapkan, besaran tarif layanan sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada MUI dan LPPOM MUI yang memberikan sertifikasi halal sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait jaminan produk halal berlaku,” demikian bunyi Diktum Kelima dalam SK yang ditandatangani pada 12 November 2019.

Penunjukan LPPOM MUI ini bertentangan dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Halal. Di mana lembaga penguji halal boleh dibuat oleh lembaga mana pun, sepanjang memiliki laboratorium yang memenuhi syarat. Namun Kemenag menilai ini tidak bertentangan dengan UU karena KMA itu dianggap sebagai diskresi.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY