Pelibatan Tentara untuk New Normal Dinilai Ciptakan ‘Abnormalitas’

0

Pelita.online – Pengerahan ratusan ribu personel TNI dan Polri untuk persiapan tatanan kelaziman baru atau new normal selama pandemi Covid-19, disebut justru menciptakan abnormalitas di masyarakat, ujar pengamat.

Akan tetapi, pemerintah menegaskan pelibatan militer adalah untuk “mendisiplinkan” dan “membina” masyarakat.

Sentimen negatif terkait pelibatan militer menuju tatanan kelaziman baru, ramai di media sosial setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan penugasan 340.000 personel TNI/Polri untuk turut membantu “membina” masyarakat di empat provinsi dan 25 kota/kabupaten yang bersiap.

Elina Ciptadi, Koordinator relawan Kawal Covid-19, sebuah insiatif sukarela warganet yang memberikan edukasi dan verifikasi berkaitan dengan pandemi, mengatakan yang terpenting dalam menurunkan kurva pandemi adalah pelaksanaan kebijakan yang konsisten, bukan pelibatan aparat.

“Yang penting itu enforcement ada dan konsisten. Mau itu dilaksanakan dengan bantuan siskamling atau RT/RW, pecalang, mau dengan pasukan yang berseragam pocong lah, mau TNI, mau Polri, yang penting enforcement-nya ada,” ujar Elina kepada BBC News Indonesia, Kamis (28/05).

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, alih-alih mengerahkan ratusan ribu TNI dan Polri untuk “mendisiplinkan” warga agar mematuhi protokol kesehatan, semestinya pemerintah lebih mengutamakan komunikasi yang publik yang baik.

“Masalahnya bukan hanya masalah disiplin, masalahnya komunikasinya belum jalan. Komunikasinya ke publik selama ini belum dijalankan dengan baik. Itu dulu yang harus dijalankan,” ujar Pandu.

Dia melanjutkan, keberadaan TNI dan Polri bukannya menuju new normal, namun justru menimbulkan abnormalitas dan tak tepat sasaran dalam menurunkan kurva kasus Covid-19.

“Tentara dan polisi diturunkan kalau keadaannya abnormal. Katanya mau menuju normal, sekarang kita normal atau abnormal? Jadi kalau kita mau menormalkan ya melakukan dengan usaha-usaha yang normal, supaya masyarakat paham,” kata dia.

Sementara Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyoroti keberadaan TNI dan Polri justru akan “menciptakan suasana ketegangan” di masyarakat dan mengindikasikan “ada sesuatu yang genting”.

Adapun Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sisriadi menekankan pihaknya melakukan “pendekatan yang persuasif dan edukatif” dalam mengawal masyarakat menuju new normal.

“Jadi masyarakat tidak perlu khawatir,” tegasnya.

Kurva diharapkan turun

Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan mengerahkan 340.000 personel TNI dan Polri di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota yang mulai melonggarkan pembatasan sosial.

Presiden Joko Widodo mengatakan pengerahan TNI/Polri yang “masif” adalah untuk “mendisiplinkan” masyarakat, sehingga kurva penyebaran Covid-19 semakin menurun.

“Kita melihat R0 (angka reproduksi virus) dari beberapa provinsi sudah dibawah 1 dan kita harapkan akan semakin hari semakin menurun dengan pasukan TNI dan Polri di lapangan secara masif,” ujar Jokowi ketika meninjau kesiapan prosedur new normal di stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta Pusat, Selasa (26/05).

Pada kesempatan yang sama, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menambahkan pendisiplinan protokol kesehatan itu dilakukan untuk menurunkan angka reproduksi virus hingga mencapai 0,75, atau bahkan lebih rendah lagi.

R0 adalah jumlah rata-rata orang yang ditularkan oleh satu orang yang terinfeksi virus. WHO memperkirakan R0 global saat ini antara 1,4 hingga 2,5.

Sementara, rata-rata R0 di Indonesia di angka 1,11. Untuk menuju new normal, R0 ditargetkan dibawah 1.

Namun, Koordinator Relawan Kawal Covid-19, Elina Ciptadi, mempertanyakan landasan pemerintah menetapkan empat provinsi, yakni Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Gorontalo, serta 25 kabupaten/kota sebagai wilayah yang bersiap menuju kelaziman baru.

Padahal, kurva epidemi di wilayah-wilayah itu belum terkontrol.

“Kalau kita lihat di level provinsi ini rate penyebarannya kebanyakan masih di atas 1,0, berarti skala wabahnya itu belum menyusut, masih bertumbuh,” ujar Elina.

Akankah efektif turunkan kurva?

Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi, menjelaskan kaitan keberadaan personel TNI dan Polri dalam hal menurunkan kurva pandemi adalah terkait dengan pendisiplinan warga.

“Kalau masyarakat yang tidak mematuhi itu (protokol kesehatan), baru nanti diberikan arahan. Tapi pendekatannya persuasif dan edukatif, jadi tidak menggunakan kekerasan,” kata dia.

“Karena kami tahu mereka yang abai itu karena ketidaktahuan,” imbuhnya.

Dia mencontohkan, banyak masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan dengan tidak mengenakan masker karena merasa dirinya sehat. Padahal, ada kemungkinan mereka membawa virus dan menularkannya kepada orang lain.

“Itu nanti kami berikan pengertian itu kepada mereka yang abai. Karena intinya mereka tidak tahu, bukannya mereka ingin melawan,” kata dia.

Kalaupun ada masyarakat yang “ngeyel” ketika diberi pengertian, lanjut Sisriadi, pihaknya menyerahkan kepada personel kepolisian untuk menindaklanjuti.

“Kami bersama-sama dengan polisi, hukum yang bicara nanti. Jadi tidak ada kekerasan di situ, tapi hukum yang berbicara. Karena nanti kita bersama-sama aparat polisi, bersama aparat kesehatan,” ujarnya.

Namun, Elina dari Kawal Covid-19 memandang pelaksanaan kebijakan yang dilakukan secara konsisten dengan sendirinya akan menciptakan kesadaran masyarakat, sehingga pelibatan TNI dan Polri tak diperlukan.

Dia mencontohkan, di Bali misalnya, tingkat kepatuhan warga tinggi karena ada kesadaran dari masyarakat untuk saling menjaga. Bahkan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak diterapkan di wilayah itu.

“Bali tidak (menerapkan) PSBB tapi tingkat compliance-nya (kepatuhan) tinggi secara swadaya. Kalau seperti itu, TNI dan Polri tidak diperlukan. Jadi tidak bisa dipukul rata, ada enforcement yang bisa dilakukan mandiri di tingkat desa, yang penting adalah enforcement-nya ada,” kata dia.

Alih-alih melibatkan TNI dan Polri, pakar epidemiologi Pandu Riono menyarankan pemerintah melibatkan tokoh masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan warga akan protokol kesehatan.

“Yang perlu kita ajak bukan tentara atau polisi, yang harus kita ajak itu tokoh-tokoh masyarakat. Sekarang saatnya kita bangun trust ke masyarakat bahwa mereka bisa menjadi inisiator, selama ini kan pendekatannya selalu top down, jadi tidak mengajak masyarakat sebagai pemangku utamanya,” kata dia.

`Akan ciptakan suasana tegang di masyarakat`

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menganggap pengerahan personel TNI tidak perlu, sebab dikhawatirkan akan membuat masyarakat tidak nyaman.

“Itu akan menciptakan suasana tegang di masyarakat, seperti sesuatu yang genting,” kata dia.

Menurutnya, keberadaan kepolisian dan Satpol PP sudah cukup efektif mendisiplinkan warga.

“Tidak perlu menghadirkan tentara,” imbuhnya kemudian.

Akan tetapi, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, mengatakan kehadiran TNI dan Polri di tempat-tempat publik “bukan untuk menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan, tapi semata-mata membantu masyarakat agar masyarakat patuh pada protokol kesehatan”.

Terkait potensi terjadinya ketegangan antara aparat dan masyarakat yang “ngeyel”, Doni menyebut adanya tahapan-tahapan peran serta TNI/Polri dalam “pembinaan masyarakat”.

Mulai dari melakukan pemeriksaan awal, yakni memeriksa suhu tubuh warga. Apabila melampaui 36,5 derajat Celcius, maka yang bersangkutan diharapkan tidak masuk ke tempat yang menjadi kawasan yang dilonggarkan.

“Memang potensi-potensi ini kemungkinan besar akan timbul. Tapi Panglima TNI tadi mengatakan lebih menekankan pendekatan persuasif, pendekatan komunikatif, termasuk juga dari aparat kepolisian, dan juga lebih kita mengharapkan masyarkat itu memiliki disiplin pribadi yang lebih tinggi,” ujar Doni dalan konferensi pers usai rapat kabinet terbatas yang dilakukan secara daring, Rabu (27/05).

Komunikasi demi perubahan perilaku

Doni pun menegaskan penugasan TNI/Polri untuk turut membantu melakukan pembinaan kepada masyarakat di empat provinsi dan 25 kota, yang sudah memutuskan memilih melonggarkan PSBB melalui pendekatan-pendekatan yang komunikatif.

Pakar epidemiologi Pandu Riono menegaskan edukasi terhadap masyarakat di tengah pandemi memang diperlukan, namun keberadaan aparat militer, justru membuatnya kontraproduktif.

“Mungkin tentara bisa melakukan penyuluhan, tapi kalau melakukan komunikasi dengan publik, biasanya tentara tidak pernah berkomunikasi. Biasanya menindak. Ini kan tidak bagus,” cetusnya.

Menurutnya, ketimbang mengerahkan personel TNI dan Polri, pemerintah lebih baik mengutamakan komunikasi publik yang baik untuk mengubah perilaku.

Respon pemerintah terkait pandemi yang baru saja terjadi ini, lanjut Pandu, acap kali membuat masyarakat kebingungan dan seringkali informasi yang dipersepsikan berbeda oleh masyarakat.

“Ini kan masalah persepsi masyarakat belum cukup karena mereka tingkat kesadarannya belum terbangun.”

Dia mencontohkan, sulit meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan masker yang baik dan benar jika pejabat pemerintahan sendiri ketika berbicara kepada publik sering mencontohkan mengenakan masker hanya asal menempel di mulut atau menggantung di leher dan tidak menutup hidung.

“Itu kan salah satu edukasi bagaimana mengenakan masker yang baik.”

Langkah-langkah komunikasi untuk mengubah perilaku masyarakat, kata Pandu, antara lain menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti masyarakat, serta memiliki standar yang baik.

“Jangan sampai mereka (masyarakat) menganggapnya beda. Untuk setiap target segmen tertentu ada pesan yang beda, apalagi kalau bahasa di Gorontalo berbeda dengan di Sumatra Barat, di Jakarta. Kita kan masyarakatnya sangat heterogen,” kata dia.

“Bukan hanya dalam budaya, tapi juga heterogen dalam persepsi. Tingkat pendidikan dan sosial mempengaruhi. Kita harus memperhatikan itu semua kalau ingin mengkomunikasikan ke publik,” tambahnya.

 

Sumber : vivanews.com

LEAVE A REPLY