Sepotong Rindu pada Semarak Waisak di Tengah Pandemi

0

Pelita.online – Joko Gumilang pasrah gagal bertolak ke Candi Borobudur untuk merayakan Waisak tahun ini. Apa lacur, pandemi Covid-19 membuat Joko mau tak mau hanya bisa memperingati Hari Raya Waisak lewat layar gawai.

“Sebenarnya sedih, karena baru berkesempatan tahun ini [merayakan Waisak di Candi Borobudur],” kata Joko saat bercerita soal kesiapannya menyambut Hari Raya Waisak pada CNNIndonesia.com, Selasa (5/5). Merayakan Waisak di Candi Borobudur punya makna tersendiri bagi umat Buddha, khususnya Joko yang telah mengimpikannya sejak lama.

Perayaan Waisak merupakan peringatan akan tiga kejadian penting dari kehidupan Sang Buddha, mulai dari lahir, mencapai penerangan sempurna, hingga parinibbhana atau meninggal tepat di waktu bulan purnama.

Diam-diam, Joko telah membayangkan khidmatnya memperingati Waisak di Candi Borobudur. “Kebayang, bisa merenungkan tiga peristiwa penting Sang Buddha bareng umat seagama di tempat suci,” kata Joko.

Secara psikologis, umat Buddha memiliki ikatan batin dengan Candi Borobudur. Bagi umat Buddha, Borobudur lebih dari sekadar cagar budaya, melainkan tempat suci para umat untuk beribadah.

Sejumlah umat Buddha bersama Biksu melakukan Pradaksina berjalan mengelilingi Candi Borobudur rangkaian dari perayaan Tri Suci Waisak di Komplek Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), Magelang, Jawa Tengah, Kamis, 11 Mei 2017. Pradaksina menjadi penutup rangkaian perayaan Tri Suci Waisak yang mengusung tema Indahnya Kebersamaan dalam Buddha Darma yang diwujudkan dalam Dharmasanti. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)Ilustrasi. Perayaan Hari Raya Waisak di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Impian Joko untuk memperingati Waisak di tempat suci pun harus kandas. Gara-garanya, jelas virus corona yang tengah menjejakkan kakinya di Nusantara. Tak ada lagi hiruk pikuk umat di wihara. Hangat tegur sapa antarumat bakal absen dari wihara. Pandemi memaksa semua orang untuk menjaga jarak dan tetap beraktivitas dari rumah, tak terkecuali ibadah.

Sebut saja prosesi Kebaktian Waisak yang biasanya berlangsung semarak dengan nyanyian ala Buddhis. Corona membuat kehangatan ini harus absen di tengah umat Buddha. Umat pun hanya mengandalkan fitur Facebook Live untuk kebaktian kali ini.

Begitu pula dengan tradisi Pindapatta nasional yang biasanya digelar sebulan sebelum Waisak. Kata ‘pindapatta‘ berasal dari bahasa Pali yang berarti ‘menerima persembahan makanan’. Biasanya, kurang lebih 40-50 biksu akan berjalan dari Stasiun Jakarta Kota hingga ke Glodok. “Di sepanjang jalan, umat akan memberikan sumbangan ke dalam wadah yang dibawa biksu,” kata Joko.

Tapi, kehangatan tradisi Pindapatta nasional kali ini harus urung terlaksana. Aneka kegiatan sosial yang biasanya beruntun terlaksana pun urung dan difokuskan pada bantuan penanganan virus corona.

Waisak kali ini jelas mendatangkan rindu bagi umat Buddha. Rindu akan khidmat dan kehangatan yang absen dari perayaan.

Hari Raya Waisak kali ini memang berbeda dengan peringatan pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, perbedaan itu tak serta merta membuat umat Buddha kehilangan makna.

Joko berkisah bahwa dalam ceramahnya, para biksu di wihara selalu mengingatkan bahwa kesehatan menjadi harta dan berkah tertinggi yang harus dicapai oleh umatnya. “Dengan kesehatan, seseorang bisa berbuat baik,” ujar Joko mengikuti ceramah biksu di wihara.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY