Setengah mati Fahri Hamzah bela Setnov di tengah pusaran korupsi e-KTP

0

Jakarta, Pelita.Online – Belakangan ini Setya Novanto menjadi perbincangan di sejumlah media sampai elit politik. ‘Ulah’-nya yang tidak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat sejumlah pihak gemas.

Sebab, seluruh ‘peluru’ ditembakkan Setnov. Mulai dari permohonan praperadilan, mempolisikan dua pimpinan KPK yakni Agus Raharjo dan Saut situmorang, menyinggung undang-undang yang mengatur soal hak imunitas anggota DPR hingga mengajukan uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) pun ikut gerah. Keduanya meski tidak secara eksplisit kompak meminta Setnov, sebagai orang nomor satu di Parlemen untuk taat hukum.

“Semua kita ini harus taat hukum-lah, jangan mengada-ada aja,” sentil JK saat dimintai tanggapan soal Setnov.

Namun, diantara segelintir pihak yang mendesak Setnov taat hukum, masih ada Fahri Hamzah yang tetap mendukung segala langkah koleganya di parlemen tersebut.

Malah, Fahri menuding penjemputan paksa yang dilakukan penyidik KPK, Rabu (15/11) malam adalah bentuk upaya menghancurkan Setnov.

Sebab, saat ini Setnov sedang menempuh upaya hukum di MK. Bukannya memfasilitasi, KPK dituding Fahri malah seakan-akan ingin menghancurkan Setnov dengan melakukan penjemputan paksa.

“Itu kan pimpinan lembaga negara sedang melakukan upaya hukum ada di MK, mau praperadilan juga saya dengar, dan upaya hukum meminta izin kepada presiden. Ini kan wilayah hukum. Kenapa ini tidak difasilitasi terlebih dahulu?” ujar Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/11).

“Kenapa meski melakukan tindakan yang berkonotasi memang ingin menghancurkan kembali dia, datang kerumahnya dngan alasan mau jemput kemudian di geledah rumahnya,” tegas Fahri.

Ia pun mendukung Setnov tidak menghadiri pemeriksaan di KPK tanpa seizin Presiden Jokowi.

“Justru itu bagus. Pak Novanto bagus jangan datang (ke KPK) kalau tidak izin Presiden,” katanya. Ia malah mengingatkan Jokowi tentang aturan hak imunitas anggota Parlemen.

Menurut Fahri, Jokowi harus mengetahui pasal 20A huruf (3) UUD 1945 yang mengatur hak imunitas anggota DPR. Kemudian, Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Anggota Dewan, huruf (h) terkait imunitas. “Biar Presiden ngerti ada pasal soal imunitas. Di konstitusi kita,” tambah Fahri.

Fahri justru menuding KPK tak taat hukum karena menolak hadir penuhi undangan Pansus Angket.

“Kalau ruang ini tidak dipakai, seharusnya KPK hadir juga saat dipanggil Pansus Angket. Justru KPK menggunakan argumen MK dan sekarang argumen itu dipakai juga oleh Pak Nov,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Fahri menyarankan KPK lebih baik memberi waktu agar 3 upaya hukum yang ditempuh Setnov selesai. Jika salah satu upaya hukum Setnov dihormati KPK, maka kegaduhan tidak akan terjadi.

“Seharusnya biarkan dulu ruang hukum itu selesai dulu, kan ada tengat waktu, izin presiden, praperadilan juga sempit waktunya,” tukasnya.

Meski demikian, Fahri enggan disebut membela Setnov. Ia menilai Ketua Umum Partai Golkar itu orang sakti, tidak perlu dibela.

“Siapa yang mau bela Novanto silakan saja. Itu orang sakti juga kok. silakan saja. Enggak perlu dibela orang itu, orang itu sudah tahu cara hidup kok,” kata Fahri.

“Kok kita bela-bela, saya bela diri sendiri saja belum tentu selamat. Ini Pak novanto, jangan begitu dong. Saya punya dignity pak. Saya enggak mau, saya bisa ngomong gini karena saya enggak mau dibeli orang pak,” kilah Fahri.

Diketahui, Setya Novanto sudah beberapa kali lolos dari beberapa jeratan kasus sejak tahun 2001. Mulai dari kasus Cassie Bank Bali pada 2001. Saat itu nama Novanto disebut pertama kali terkait kasus hak tagih piutang Bank Bali yang menyebabkan kerugian negara nyaris Rp 1 triliun dari total tagihan sebesar Rp 3 triliun. Tetapi kasus ini berhenti, bersamaan dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari kejaksaan pada 18 Juni 2003.

Nama Setya Novanto kembali terjerat dalam kasus penyelundupan beras impor dari Vietnam, sebanyak 60.000 ton pada 2010. Novanto hanya diperiksa satu kali terkait kasus ini, yakni pada 27 Juli 2006. Dia pun tidak menjadi tersangka dalam kasus ini.

Pada 2006, kasus Limbah Beracun di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Nama Novanto kembali disebut sebagai pemilik PT Asia Pasific Eco Lestari (APEL) yang diduga telah menyelundupkan lebih dari 1.000 ton limbah beracun mendarat di Pulau Galang. Limbah itu disamarkan menjadi pupuk organik, meski mengandung tiga zat radioaktif berbahaya, yakni Thorium 228, Radium 226, dan Radium 228. Dalam kasus ini, Novanto bahkan tidak pernah diperiksa.

Dilanjut pada tahun 2012, nama Novanto kembali disebut oleh mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin terlibat dalam korupsi pembangunan lapangan tembak PON Riau 2012. Novanto diduga mengatur aliran dana ke anggota Komisi Olahraga DPR untuk memuluskan pencairan APBN. Tetapi, Novanto hanya diperiksa sebanyak dua kali.

Pada 2015, Novanto juga tersandung masalah etik karena hadir dalam kampanye capres AS Donald Trump. Novanto disebut melakukan pelanggaran etik karena dianggap memberikan dukungan politik pada Trump, apalagi statusnya sebagai Ketua DPR. Novanto lolos setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) hanya memberikan teguran.

Masih di tahun yang sama, Novanto juga terjerat kasus dugaan pemufakatan jahat perpanjangan kontrak Freeport. Dia diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo. Kasus ini terkenal dengan sebutan “Papa Minta Saham”. MKD tak menjatuhkan sanksi kepada Novanto.

Terakhir, kasus korupsi proyek e-KTP. Pada Senin, (17/7) Setya Novanto resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek e-KTP. Namun, Novanto melawan status tersangka dengan mengajukan gugatan praperadilan pada Senin (4/9) lalu. Novanto kembali lolos dari jerat hukum. Pada Jumat (29/9), Hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan Novanto. Dengan putusan itu, gugurlah status tersangka Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.

Merdeka.com

LEAVE A REPLY