Partai oposisi harus bubar, demokrasi Kamboja semakin suram

0

Jakarta, Pelita.Online – Perseteruan politik di Kamboja menjelang pemilihan presiden terus terjadi. Setelah rezim pimpinan Perdana Menteri Hun Sen terus menekan kelompok oposisi, Mahkamah Agung Kamboja memutuskan supaya Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) dibubarkan.

Dilansir dari laman Associated Press, Kamis (16/11), keputusan itu nampaknya sudah bisa diperkirakan oleh kelompok oposisi. Apalagi Ketua Majelis Hakim, Dith Munty, merupakan anggota partai penguasa, Partai Rakyat Kamboja (CPP). Dia menyatakan sembilan hakim anggota memutuskan secara bulat memerintahkan pembubaran CNRP.

Mahkamah Agung Kamboja juga melarang 118 anggota CNRP terlibat dalam aktivitas politik selama lima tahun ke depan. Dengan keputusan itu, Perdana Menteri Hun Sen dan CPP membungkam seteru politiknya sebelum pemilihan umum digelar pada Juli 20181 mendatang. Dia juga dianggap tetap mempertahankan budaya otoriter dan merusak budaya demokrasi di negara itu.

Hakim Munty juga secara sepihak menyatakan CNRP mengakui akan melakukan kudeta, karena mereka tidak mengutus kuasa hukum buat membela dalam persidangan.

Hun Sen dan pemerintah Kamboja menuding CNRP dan pemimpinnya, Kem Sokha, hendak melakukan kudeta dengan bantuan Amerika Serikat serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan media massa berkelindan dengan AS. Dia lantas ditangkap pada September lalu. Pemerintah Kamboja lantas menutup kegiatan sejumlah organisasi didanai AS. Tentu saja AS membantahnya. Bahkan, sebuah surat kabar independen Kamboja, The Cambodia Daily, terpaksa berhenti terbit karena dipaksa membayar pajak yang jumlahnya sangat tidak masuk akal.

Politikus senior CNRP yang kabur ke luar negeri, Mu Sochua, menyatakan keputusan Mahkamah Agung Kamboja sama saja mengakhiri era demokrasi murni berjalan selama ini. Dia meminta bantuan pihak asing supaya tidak tutup mata dan membiarkan rezim otoriter dipimpin Hun Sen terus melanggengkan kekuasaan.

Hun Sen merupakan mantan komandan Khmer Merah didapuk sebagai Perdana Menteri sejak 1985, setelah gerakan itu tumbang. Lantas pada 1997, dia merebut kekuasaan mutlak setelah melakukan kudeta menelan banyak nyawa. Dia saat ini menjadi perdana menteri dan kepala negara terlama di dunia, yakni selama 32 tahun dan terus berjalan.

Sistem demokrasi diterapkan di Kamboja dianggap masih sangat rapu. Sebab, lembaga legislatif dan yudikatif belum bisa mandiri, dan masih sangat tergantung dengan sikap eksekutif. Penegakan hukum dan hukum acara di sana dianggap amat lemah. Apalagi selama beberapa tahun belakangan hubungan pemerintah Kamboja dan China semakin mesra. Hal itu membuat Tiongkok rela mengguyur Kamboja dengan sejumlah bantuan dan pinjaman. Namun, hal itu malah membikin penguasa semakin menindas kelompok oposisi dan pegiat demokrasi dan hak-hak sipil setempat.

Merdeka.com

LEAVE A REPLY