Tersangka Korupsi Bansos Covid-19, Mensos Juliari Bisa Diancam Hukuman Mati

0
Menteri Sosial Juliari P. Batubara meninggalkan gedung seusai menghadiri Rakorsus tingkat menteri di Menkopolhukam, Jakarta, Selasa (21/1/2020). Rakorsus tersebut membahas tentang penanganan Foreign Terrorist Fighters (FTF). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

Pelita.online –  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemsos, serta dua pihak swasta bernama Ardian IM dan Harry Sidabuke sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. Dalam kasus ini, Juliari diduga menerima menerima fee tiap paket bansos sebesar Rp 10.000 dari nilai Rp 300.000 per paket yang diterima warga. Secara total, Juliari diduga menerima Rp 17 miliar.

Atas dugaan korupsi yang dilakukannya, Juliari bisa terancam hukuman mati jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU 31/1999 Pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri di Gedung KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari.

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Sedangkan, penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”

Dalam beberapa kesempatan, Firli kerap mengancam seluruh pihak agar tak menyalahgunakan bansos lantaran dapat diancam hukuman mati. Apalagi, Menurut Firli, pemerintah juga telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nonalam.

Untuk itu, Firli mengatakan, pihaknya akan terus mengembangkan kasus dugaan suap yang menjerat Juliari. Dikatakan, KPK akan mendalami mekanisme bansos yang diduga telah menjadi bancakan.

“Kita paham juga bahwa pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam, sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini, apa yang kita lakukan, kita masih akan terus bekerja terkait dengan bagaimana mekanisme pengadaan barang jasa untuk bantuan sosial di dalam pandemi Covid-19,” kata Firli.

Dikatakan Firli, tim penyidik akan bekerja lebih keras untuk bisa memenuhi unsur Pasal 2 UU Tipikor dalam tindak pidana yang diduga dilakukan Juliari. Untuk saat ini, Juliari baru dijerat dengan Pasal 12 UU Tipikor.

“Tentu nanti kita akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti apakah bisa masuk ke dalam Pasal 2 UU 31/1999 ini, saya kira memang kita masih harus bekerja keras untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana yang merugikan keuangan negara sebagai mana yang dimaksud Pasal 2 itu. Dan malam ini yang kita lakukan tangkap tangan adalah berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara, jadi itu dulu,” kata Firli.

“Fee” Proyek Bansos
Dugaan suap yang menjerat Mensos diawali dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemsos tahun 2020, dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun. Proyek itu dituangkan dalam 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. Untuk memuluskan itu, Juliari diduga menerima fee Rp 10.000 dari nilai Rp 300.000 per paket bansos.

Matheus dan Adi Wahyono selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemsos pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa rekanan, di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Penunjukan RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi Wahyono.

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, diduga telah menerima fee sebesar Rp 12 miliar yang diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi Wahyono dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari, untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar yang juga akan digunakan untuk keperluan Juliari.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Matheus dan Adi Wahyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan, Ardian dan Harry yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU yang sama.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY