TPDI: Presiden Dapat Berhentikan Kepala Daerah Tanpa Proses Politik di DPRD

0

Pelita.online – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menegaskan secara hukum, Pemerintah Pusat atau Presiden Joko Widodo bisa memberhentikan kepala daerah yang melanggar sumpah jabatannya atau tidak menjalankan kewajibannya sebagai kepala daerah. Pemberhentian ini, kata Petrus, tanpa harus menunggu proses politik di DPRD.

“Pemerintah pusat memberhentikan kepala daerah tanpa harus menunggu proses politik di DPRD. Ini jelas diatur dalam Pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,” kata Petrus di Jakarta, Senin (23/11/2020).

Bahkan, kata Petrus, proses pemberhentian kepala daerah melalui pemerintah pusat lebih sederhana. Pasalnya, hanya bergantung pada hasil pemeriksaan pemerintah pusat (tanpa proses politik di DPRD) dan hasilnya diserahkan kepada Mahkamah Agung untuk diperiksa dan diputuskan bersalah atau tidak.

“Jadi, jika DPRD yang berwewenang memberhentikan kepala daerah tidak menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU 23 Tahun 2014, maka pemerintah pusat bisa melakukan pemberhentian tersebut,” tandas dia.

Karena itu, Petrus mengingatkan agar kepala daerah wajib menjalankan tugasnya terutama saat ini memastikan protokol kesehatan dijalankan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018, Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan peraturan turunannya. Jika ada yang tidak menjalankan UU Nomor 6 Tahun 2018 tersebut, kata dia, pemerintah pusat bisa memberhentikan melalui mekanisme Pasal 81 UU Pemda.

“Contohnya Anies Baswedan atau wakilnya yang saat ini sedang dalam proses pemeriksaan Polda Metro Jaya terkait dugaan pembiaran kerumunan di acara Rizieq Syihab beberapa waktu lalu. Bisa saja diberhentikan oleh pemerintah pusat jika DPRD DKI tidak melakukan proses politik itu, mekanisme melalui Pasal 81 UU Pemda. Begitu juga kepala daerah lainnnya yang lalai menjalankan kewajibannya,” pungkas dia.

Berikut ini bunyi Pasal 81 UU Pemda

(1) Dalam hal DPRD tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), Pemerintah Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang:
a. melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah;
b. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; dan/atau
d. melakukan perbuatan tercela.

(2) Untuk melaksanakan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah untuk menemukan bukti-bukti terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atauwakil kepala daerah.

(3) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemerintah Pusat kepada Mahkamah Agung untuk mendapat keputusan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

(4) Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melakukan pelanggaran, Pemerintah Pusat memberhentikan kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 67 huruf b:
Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi: (b). menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 76
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun;

d. menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan Daerah yang dipimpin;

e. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;

f. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e;

g. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;

h. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

i. melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri; dan

j. meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) Hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan tanpa izin Menteri untuk gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY