Transgender: Ubah Identitas, Bukan Gangguan Mental

0

Pelita.online – Perubahan identitas gender atau transgender kerap dikaitkan dengan gangguan mental. Padahal, transgender tak termasuk penyakit, sehingga tak memerlukan terapi apa pun. Hal ini pun berlaku pada kaum transeksual.

Perlu diketahui, transgender dan transeksual merupakan dua konsep yang berbeda. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kelamin dan gender merupakan dua hal yang berbeda.

Mengutip Atlanta Journal Constitution, gender merupakan perasaan internal sebagai laki-laki atau perempuan. Hal ini biasanya didasarkan pada definisi sosial atau budaya perihal maskulin dan feminin. Sedangkan jenis kelamin mengacu pada perbedaan kromosom, hormon, dan organ seksual.
Seorang transgender adalah mereka yang merasa identitasnya tidak sesuai dengan jenis kelamin saat lahir. Sebagai contoh, meski memiliki alat kelamin laki-laki, seseorang merasa dirinya perempuan. Kaum transgender kerap merasa dirinya lahir di tubuh yang salah.

Sedangkan transeksual adalah mereka yang merasa seutuhnya lawan jenis. Perasaan ini diikuti oleh keinginan untuk benar-benar menjadi seperti lawan jenis, baik secara gender maupun karakteristik. Biasanya mereka akan menempuh sejumlah terapi termasuk terapi hormon, prosedur payudara, hingga operasi kelamin.

Bukan Gangguan Mental

Ahli Kesehatan Jiwa RS Awal Bros, Alvina mengatakan, ada sejumlah alasan di balik keputusan untuk melakukan perubahan identitas. Salah satunya adalah perasaan lahir di tubuh yang salah dan keinginan untuk mengubah kelamin.

“Orang-orang yang memutuskan untuk mengubah jenis kelamin biasanya merasa dirinya tidak nyaman dengan jenis kelaminnya saat lahir,” kata Alvina melalui pernyataan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (14/2).

Alvina menambahkan, transgender sendiri tidak termasuk penyakit mental. Karena bukan gangguan mental, maka kaum transgender tidak memerlukan terapi dengan psikolog atau psikiater.

“Terapi psikiatri diperlukan bila seseorang mengalami gangguan jiwa, termasuk seorang transgender [yang] mengalami gangguan jiwa,” imbuhnya.

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak Mei 2019 lalu tidak lagi mengkategorikan transgender sebagai gangguan mental. Hal ini pun disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa ‘gender identity disorder’ atau kelainan identitas gender dihapus dari pedoman diagnosis global.

Alvina pun mengimbau pada masyarakat agar bersikap sebagaimana mestinya memperlakukan sesama manusia. Kaum transgender juga memiliki hak asasi seperti halnya nonkaum transgender.

“Masyarakat juga bisa membantu mengarahkan transgender untuk datang kepada tenaga profesional bila ia mengalami kebingungan tentang kondisi dirinya,” katanya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY