Warga Blitar Pertanyakan Soal Naiknya Iuran BPJS Kesehatan

0

Pelita.online –  Saat bangun pagi, Hendro merasa sesak napas. Diabetes kronis yang dideritanya membuat penyakit komplikasi bersarang di tubuh pria berusia 52 tahun itu.

Keluarganya tergopoh membawanya ke rumah sakit swasta di Kota Blitar, yang memberikan layanan BPJS kesehatan. Namun sampai di ujung ruang UGD, seorang perawat mempersilakan pasien untuk minta rujukan ke faskes pertama

Tak sempat bertanya banyak. Keluarganya kemudian memutuskan membawanya ke rumah sakit swasta lain. Yang tidak ada fasilitas BPJS-nya. Kondisi Hendro tertolong. Namun warga Tlumpu itu harus berpikir keras untuk membayar biaya pengobatan yang mahal.

“Seharusnya melihat kondisi pasien. Masalah administrasi kan bisa diurus belakangan. Yang penting pasien diselamatkan dulu. Lha gitu kok pemerintah malah menaikkan iurannya. Rakyat ini sudah susah, dibikin tambah susah dapat layanan kesehatan,” kata Dinis, anak pertama Hendro pada detikcom, Jumat (6/9/2019).

Pihak rumah sakit yang dikonfirmasi detikcom menyatakan, mereka hanya mengikuti SOP yang ditetapkan BPJS kesehatan. “Kami hanya ikuti aturan mbak. Memang harus ada rujukan dari faskes pertama. Karena kami masuk faskes kedua. Karena tingkat kedaruratan seorang pasien itu sudah dijelaskan per kategorinya,” ujar humas rumah sakit swasta tersebut.

Kejadian nyata ini disaksikan langsung detikcom. Namun untuk menghindari kesalahpahaman, nama rumah sakit sengaja tidak disebutkan. Dan tak hanya satu dua pasien yang memilih tetap membayar mahal di rumah sakit tempat Hendro dirawat.

“Ada saya kartu KIS. Tapi kondisi suami saya demam tinggi. Masak sempet minta rujukan ke sana-sini. Mbuh utang siapa Mbak buat bayar rumah sakit di sini,” kata Siti Maria, warga Ngeni sambil menyeka air mata.

Ini hanyalah gambaran sebagian layanan BPJS kesehatan yang kerap jadi keluhan warga. Belum lagi soal obat yang diklasifikasi berdasarkan keikutsertaan di BPJS kesehatan.

Di tengah layanan yang dianggap belum maksimal, pemerintah tiba-tiba menaikkan jumlah iuran per bulan. Jika hanya satu peserta, mungkin kenaikan itu dinilai tak seberapa. Namun bagaimana jika dalam satu KK terdapat lebih dari dua anggota keluarga? Seperti yang dirasakan Yoyok Agusta, peserta BPJS kesehatan yang memilih ikut di kelas satu.

Warga Kesamben ini bukan merasa kelebihan uang untuk ikut layanan kelas satu. Namun karena ingin mendapat layanan lebih nyaman, ketika anggota keluarganya sakit.

Adanya kenaikan iuran dinilai sangat memberatkan ia sebagai seorang karyawan swasta. “Satu KK keluarga saya ada empat. Hitung berapa Rp 160 ribu kali empat. Tiap bulan saya harus keluarkan dana Rp 640 ribu. Apa kenaikan iuran ini ada jaminan dari pemerintah untuk meningkatkan layanan?,” tanya bapak dua anak ini.

Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan DPRD Kota Blitar Nuhan Wahyudi menilai, kenaikan iuran BPJS kesehatan yang hampir 100 persen ini terkesan tergesa-gesa. Seharusnya, pemerintah tidak terburu membebankan tanggungan biaya kesehatan itu ke masyarakat.

“Walaupun dinaikkan, selama manajemennya belum diperbaiki ya tetap kurang itu. Kenapa saya menyoroti sisi manajemennya BPJS kesehatan. Dibandingkan dengan Jamsostek atau Askes, dulu malah bisa mendatangkan keuntungan. Lha ini begitu dipegang BPJS kenapa defisit, kurang terus. Jangan bebankan itu ke masyarakat, evaluasi dulu manajerialnya,” pungkas Nuhan.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY