WHO dan Pusaran Kontroversi

0

Pelita.online – WHO menjadi sorotan global terutama selama pandemi virus corona (Covid-19) yang hingga hari ini telah menginfeksi lebih dari 6 juta orang di seluruh dunia.

Akibat pandemi corona, WHO terpaksa kehilangan donor terbesar yakni Amerika Serikat. Presiden Donald Trump memutus hubungan dan donasi Negeri Paman Sam untuk organisasi tersebut.

AS menyumbangkan US$445 juta kepada WHO setiap tahun dari total US$4,8 miliar bujet lembaga itu. Jumlah tersebut yang terbesar dari negara lain.
Trump mengakhiri hubungan dengan WHO setelah berulang kali menuding organisasi itu bias terhadap China, negara tempat virus corona pertama kali terdeteksi dan menyebar.
Trump menganggap WHO tidak serius menanggapi wabah corona di China hingga akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Trump bahkan menyebut WHO sebagai boneka China karena dinilai terus membela Negeri Tirai Bambu.

Berikut kontroversi yang menghinggapi Organisasi Kesehatan Dunia tersebut.

Polemik Tanggap Corona

WHO merupakan satu dari sejumlah organisasi internasional yang menjadi bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tugas utama WHO adalah membangun respons global terhadap krisis kesehatan yang melanda dunia terutama terkait wabah penyakit dan pandemi seperti saat ini.

Dengan tanggung jawab yang dipikul WHO, sejumlah pihak mempertanyakan penanganan di awal virus corona muncul. Respons WHO dinilai kurang cepat dan tepat.

Sebab, semenjak China melaporkan pertama kali beberapa kasus pneumonia misterius pada 31 Desember, WHO masih berkutat pada penggalian informasi dari Beijing. Tidak segera membuat kesimpulan terkait jenis penyakit dan ancamannya.

Saat itu WHO juga menentang penerapan segala larangan perjalanan atau perdagangan terhadap China berdasarkan informasi yang tersedia terkait penyakit misterius ini.

Foto: CNN Indonesia/Fajrian

Sekitar akhir Januari, ketika virus corona mulai menyebar ke luar China, Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus menggelar jumpa pers di Beijing bersama Presiden Xi Jinping.

Dalam jumpa pers itu, Ghebreyesus memuji respons China terhadap penyebaran virus corona.

“Kami menghargai keseriusan China dalam menghadapi wabah ini, terutama komitmen dari kepemimpinan puncak, dan transparansi yang telah mereka tunjukkan,” ujar Tedros seperti dikutip VOA.

Media pemerintah China mengutip komentar WHO itu selama berminggu-minggu.

Di sisi lain, sejumlah pihak masih memperdebatkan asal mula penyebaran virus corona, yang selama ini diyakini pertama kali terdeteksi dan menyebar dari sebuah pasar tradisional di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, yang menjual binatang liar untuk dikonsumsi.

Sejauh ini belum ada investigasi resmi dari pihak China terkait awal mula kemunculan virus tersebut. Pemerintahan Xi pernah merilis secara resmi lini masa (timeline) penyebaran virus corona di Negeri Tirai Bambu.

Namun, timeline tersebut tidak berhasil menjelaskan beberapa hal yang menjadi kritik internasional selama ini, terutama mengenai kasus awal kemunculan virus corona.

Karena itu, banyak pihak, termasuk AS, menganggap China tidak transparan terkait awal mula kemunculan virus serupa SARS tersebut.

Penanganan WHO di Luar Corona

Terlepas dari corona, WHO berhasil membantu memberantas wabah cacar dan polio yang sempat mengancam beberapa negara.
Namun, WHO mengakui bahwa responsnya lambat dalam menangani wabah Ebola pada 2013-2016 di Afrika Barat. Badan itu membutuhkan waktu lima bulan sampai dapat mengumumkan darurat kesehatan Ebola yang saat itu menjadi perhatian internasional.

Salah satu penilaian akademis mengatakan keterlambatan WHO itu “tidak diragukan lagi berkontribusi pada meluasnya wabah dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Sarat Politisasi 

Banyak pihak mengkritik WHO terlalu birokratis, terstruktur buruk, dan terlalu bergantung pada donor besar.

Pada 2014, mantan konsultan WHO, Charles Clift, menulis bahwa organisasi tersebut “terlalu dipolitisasi, terlalu birokratis, terlalu didominasi staf medis yang terlalu terpaku pada solusi medis ketika sumber masalah sering kali berasal dari sisi sosial dan ekonomi.”

Clift juga menganggap WHO takut menyentuh masalah kontroversial dan lambat untuk beradaptasi dengan perubahan.

Setiap negara anggota WHO memang wajib membayar iuran berdasarkan kekayaan dan populasi negara tersebut setiap tahun. Namun, iuran ini hanya sekitar seperempat dari dana WHO.

Sisanya, WHO mendapat suntikan dana dari sumbangan sukarela dan sumbangan efektif negara-negara atau individu dan organisasi lain.

Keanggotaan Taiwan di WHO

Taiwan tak pernah menjadi anggota penuh, namun sempat diizinkan menghadiri rapat dan acara WHO sebagai observer atau pengamat antara 2009-2016.

Akan tetapi, melansir The Washington Post, akibat tekanan dari China, WHO melarang delegasi Taiwan menghadiri majelis tahunan WHO.

Media lokal Taiwan juga menyebutkan sejumlah wartawannya tidak diberi akses meliput majelis tahunan WHO.
Tekanan politik China juga membuat WHO hingga saat ini mengabaikan pengajuan keanggotaan Taiwan.

Namun, sejumlah pihak menganggap keberhasilan Taiwan menangani dan menekan penularan virus corona (Covid-19) semakin memperkuat nilai tawar Taipei terkait keanggotaannya di WHO.

Pengeluaran Berlebihan

WHO pernah dikritik lantaran pengeluarannya yang bengkak, terutama dalam hal perjalanan para staf dan pejabatnya.

Biaya pengeluaran perjalanan para pejabat WHO tersebut bahkan digadang melebihi biaya lembaga dalam menangani isu kesehatan mental, HIV/AIDS, tuberkolosis, dan malaria.

Menurut laporan Associated Press, WHO kerap menghabiskan sekitar US$200 juta setiap tahun untuk ongkos dinas para pejabatnya.

Mantan Dirjen WHO, Margaret Chan, bahkan dilaporkan menginap di sebuah hotel mewah seharga US$1.800 malam saat mengunjungi Guinea, Afrika Barat, pada 2017 lalu untuk merayakan penemuan vaksin pertama Ebola.

 

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY