MA dan MK beri ‘jalan’ KPK jadikan Setya Novanto tersangka kembali

0

Jakarta, Pelita.Online – Hakim Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapan Ketua DPR itu sebagai tersangka tidak sesuai prosedur. Hakim Cepi berkesimpulan bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak berdasarkan prosedur dan tata cara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan SOP KPK. Namun, KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.

Walaupun begitu, Mahkamah Agung (MA) berpendapat keputusan tersebut tetap tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan. “Esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah .

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) Perma Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan, putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.

“Kalau Penyidik telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, yang bersangkutan bisa dijadikan tersangka lagi,” jelas Abdullah.

Terkait dengan putusan praperadilan Setya Novanto, Abdullah mengatakan, bahwa MA menghormati apa yang telah diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Abdullah menegaskan bahwa bagaimanapun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan dan tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, atau ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan MA.

Abdullah juga menegaskan KPK masih memiliki kesempatan untuk mentersangkakan kembali Setya Novanto. “Sekali lagi, kami menegaskan bahwa KPK masih ada kesempatan untuk menetapkan kembali tersangkanya,” katanya.

Ini berdasarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 pasal 2 ayat (3). Pasal tersebut berbunyi, Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.

“Berdasarkan Pasal 2 ayat 3 Perma 4 2016 tersebut semuanya kembali ke KPK untuk tidak melanjutkan atau meneruskan perkara Setya Novanto. Ini semua terpulang ke KPK untuk meneruskan atau tidak meneruskan,” ujarnya.

“Dan saya dengar, KPK tetap melanjutkan dan Berdasarkan Perma Nomor 4 memang itu sangat dimungkinkan,” sambungnya.

Abdullah menambahkan, sejak awal sidang praperadilan digelar, Mahkamah Agung terus melakukan pemantauan secara tertutup. Hingga putusan praperadilan dijatuhkan Cepi Iskandar, Mahkamah Agung terus menangkap opini masyarakat merespon putusan tersebut.

“MA juga memahami berbagai komentar masyarakat kepada hakim pemeriksa perkara. Dan hal tersebut merupakan Hak Asasi Manusia sepanjang disampaikan dengan cara yang benar,” ucapnya.

Sementara itu,- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan penyidik aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang sudah dipakai untuk kembali menjerat tersangka yang statusnya gugur karena memenangkan praperadilan. Hal ini adalah salah satu pertimbangan MK dalam putusan uji materi terhadap Pasal 83 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Hal ini harus dipahami bahwa sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Selain itu MK juga tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang menyebutkan bahwa persyaratan penetapan tersangka adalah menyertakan dua alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, serta berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.

Mahkamah dalam hal ini berpendapat alat bukti yang digunakan pada penyidikan terdahulu dapat ditolak karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi.

“Alat bukti tersebut baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru,” kata Anwar.

Oleh sebab itu, terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seorang menjadi tersangka.

Adapun perkara ini diajukan oleh tersangka kasus restitusi pajak PT Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria yang pernah mengajukan permohonan praperadilan dan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 November 2016.

Akan tetapi penyidik kemudian kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang dinilai pemohon hanya dengan memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana.

Atas kejadian tersebut, pemohon merasa mengalami ketidakpastian hukum, sehingga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atas permohonan tersebut, amar putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Seperti diketahui, boleh tidaknya alat bukti yang sudah digunakan sebelumnya untuk dipakai dalam perkara selanjutnya menjadi polemik dalam kasus Setya Novanto.

Saat itu, Hakim tunggal kasus praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar memenangkan gugatan Setya Novanto. Alhasil, status tersangka kasus e-KTP terhadap Setya Novanto dari KPK gugur.

Hakim Cepi menilai alat bukti KPK atas Setnov berasal dari penyidikan terhadap terpidana kasus korupsi e-KTP, Irman dan Sugiharto. Hakim Cepi menilai alat bukti yang sudah digunakan tak bisa digunakan kembali.

Merdeka.com

LEAVE A REPLY