Dokter Mengeluh, Biaya Operasi Cesar Sebelum Ada BPJS Kesehatan Rp 6 Jutaan, Kini Cuma Rp 4,3 Jutaan

0
Layanan BPJS Kesehatan

Pelita.Online – Sistem jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan BPJS Kesehatan terus menyisakan pekerjaan rumah alias PR, kendati program ini lima tahun dijalankan Pemerintah di Indonesia.

PR tersebut antara lain soal pelayanan kepada pasien.

Dokter Enozthezia Xynta menilai munculnya sejumlah PR tersebut lantaran selama ini tenaga kesehatan seolah dipaksa untuk memberikan layanan sesuai budget yang disodorkan BPJS Kesehatan.

“Sebetulnya bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang diterapkan BPJS,” jelas dokter anestesi yang pernah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi, tentang rasa kecewanya terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Eno mencontohkan, biaya operasi cesar sebelum ada program BPJS berkisar di angka Rp 6 juta. Saat ini, dengan diterapkan BPJS, pasien membayar Rp 4,3 juta.

“Kita (dokter) terkurung dengan harga yang sudah ditetapkan,” ujarnya.

Masih menurut Eno, jika biaya yang dikeluarkan ternyata melebihi dari ketentuan BPJS Kesehatan, biasanya rumah sakit atau dokter sendiri yang bersangkutan harus menanggungnya.

“Jasa dokternya lah yang dipotong dan kadang jasa visit kita nggak dihitung,” katanya. Ini salah satu penyebab pelayanan menjadi sub standart. Padahal, lanjut Eno, untuk dokter umum di poliklinik misalnya, jasa dokter dan sebagainya hanya dibayar Rp 10 ribu.

Memang saat ini sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pasien bisa membayar tambahan dari pelayanan yang diberikan oleh BPJS.

Namun menurut Eno, ini menjadi masalah baru. Pertama, ada resiko dokter akan dilaporkan. Kedua, dokter akan ditegur oleh BPJS dan ketiga, tentu masyarakat akan memandang profesi dokter menjadi hina.

“Kita tidak akan mengambil resiko itu,” kata Eno.

Perlakuan sub standard ini dinilai Eno bukan hanya dalam sisi pelayanan.

Tapi juga pemberian obat yang cenderung under treatment. Ada yang disebut Formulariom Nasional (Fornas), daftar obat yang secara empirik diperlukan oleh masyarakat di Indonesia.

Furu Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Hasbullah Thabrany,menjelaskan, Fornas ini mendaftar lebih dari 1.000 kemasan obat dalam segala bentuk. “Ini isinya adalah obat essential. Obat semua penyakit sudah ada di situ,” jelasnya.

Namun tidak ada merk dagang obat yang tercantum di dalam fornas. Jadi, rumah sakit dan dokter dipersilakan untuk memberikan merknya. Dengan e-catalogue saat ini, membuat industri farmasi bersaing ketat.

“Bahkan ada yang banting harga untuk mendapatkan kontrak,” katanya. Perilaku banting harga gila-gilaan ini diikuti dengan ketidakmampuan industri itu untuk menyuplai obat. “Akibatnya obat tidak tersedia meski dengan harga yang wajar,” ujarnya.

Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kuntjoro Adi Purjanto menyatakan, rumah sakit (RS) di Indonesia sudah berbenah diri sejak lama. Penolakan pasien pun hingga saat ini sudah hampir tidak ada.

“Sekarang sudah termitigasi dengan baik tanpa pandang bulu selama sumber dayanya tersedia,” jelasnya.

Kuntjoro membantah perilaku under treatment RS terhadap pasien. Memang, kata Kuntjoro, potensi untuk under treatment cukup besar.

“Bagaimana kalau obatnya tidak ada? Bayar obat nggak bisa,” katanya.

Ada beberapa RS yang berpotensi melakukan keterlambatan pembayaran obat. Jika demikian, distributor dan industri obat akan terkunci secara computerized.

“Dia nggak bisa mengeluarkan barang dari gudangnya meski pemiliknya punya niat membantu rumah sakit,” ujarnya.

Kondisi keuangan setiap rumah sakit berbeda-beda. Kekuatan cadangan keuangan untuk membayar obat pun makin hari makin tipis.

Pada titik equilibrium tertentu, RS tidak bisa membayar obat, karyawan dan dokter. “Jadi, under treatment itu sebagai akibat, jika itu memang benar terjadi,” kata dia.

Kepala Humas Iqbal Anas Ma’ruf BPJS Kesehatan sebelumnya menyatakan, Fornas yang ditetapkan Kementerian Kesehatan menjadi acuan untuk penyediaan obat yang masuk dalam program JKN.

“Memang harus dikendalikan. Karena jika dibiarkan liar, nego harga obat dengan pabrikan akan sulit,” katanya.

tribunnews.com

LEAVE A REPLY