Harga Minyak Naik di Awal Pekan, Hati-Hati Pasar Masih Rapuh!

0

Pelita.Online, Jakarta – Pada perdagangan hari ini Senin (26/11/2018) hingga pukul 09.45 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 naik 1% ke level US$ 59,39/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 menguat 0,63% ke level US$ 50,74/barel.

Harga minyak mampu rebound pasca  melemah signifikan pada hari Jumat (23/11/2018). Kala itu, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) ambrol nyaris 8%, sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa amblas 6% lebih.

Saking parahnya penurunan harga di akhir pekan lalu, pelaku pasar tak segan menyebut peristiwa kala itu sebagai “Black Friday” bagi harga minyak mentah dunia.

Dalam sepekan, harga minyak brent anjlok 11,92% secara point-to-point. Sedangkan light sweet amblas 10,69%. Per akhir pekan lalu, harga light sweet dan brent kompak terpuruk ke level terendahnya dalam setahun lebih, atau sejak Oktober 2017.

Meski demikian, harga sang emas hitam yang sudah murah nampaknya mendorong aksi beli di pagi ini. Selain itu, harapan negara-negara produsen yang akan memangkas produksi pun menjadi bahan bakar penguatan harga.

Selain melemah cukup parah dalam sepekan terakhir, harga brent sudah berkurang 28,98% dan light sweet terpangkas 24,1% dalam sebulan terakhir. Sejak awal tahun, harga brent amblas 11,67% dan light sweet ambrol 14,48%.

Pada akhirnya, harga minyak yang cenderung sudah murah mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi beli pada hari ini. Harga minyak pun mengalami technical rebound, dan mampu bergerak menguat.

Meski demikian, fundamental pasar minyak global sejatinya belum mendukung harga minyak. Pasokan minyak dunia masih diekspektasikan membanjir.  Produksi minyak mentah mingguan AS masih stabil di angka 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.

Tidak hanya dari Negeri Paman Sam, top produsen lainnya juga tercatat masih menaikkan produksinya.  Dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Kini tiga produsen minyak terbesar dunia, yakni AS, Russia, dan Saudi, telah memproduksi 100 juta barel/hari secara total. Jumlah itu merupakan yang tertinggi di sepanjang sejarah, sekaligus memenuhi sepertiga konsumsi minyak dunia.

Senada dengan itu, International Energy Agency (IEA) juga mengekspektasikan bahwa negara produsen non-Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan meningkatkan produksi hingga 2,3 juta barel/hari pada tahun ini.

Dari Asia, tanda-tanda membanjirnya pasokan pun kian terasa. Ekspor Bahan Bakar Minyak (BBM) China turun 33% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka 650.000 ton pada bulan lalu, yang merupakan level terendah sejak September 2017.

Penurunan ekspor Beijing disebabkan cadangan BBM yang memang dilaporkan mengalami kenaikan di seantero Benua Kuning. Cadangan di Singapura, yang merupakan pusat pengilangan di regional Asia, meningkat ke rekor tertinggi dalam 3 bulan. Sementara, cadangan di Jepang juga meningkat cukup signifikan di pekan lalu.

Di saat pasokan membanjir, permintaan malah diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.

Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh.  Pertumbuhan ekonomi pun menjadi taruhannya.

“Konflik dagang AS-China masih mengandung risiko downside, seiring kita memroyeksikan AS akan menerapkan bea masuk 25% bagi seluruh impor produk China pada kuartal I-2019,” tulis bank AS J.P. Morgan pada laporannya akhir pekan lalu, seperti dikutip dari Reuters.

Saat ekonomi global melambat dan berjalan dengan satu mesin, maka permintaan energi juga akan berkurang. Saat permintaan menurun tapi pasokan membanjir, jelas kondisi pasar akan mengalami oversupply. Tak pelak, harga pun masih berpotensi berada di dalam tekanan.

OPEC Akan Pangkas Produksi, Bagaimana Harga Minyak?

Berita baiknya, OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel pada pertemuan 6 Desember mendatang, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.

Nampaknya OPEC mulai gelisah terhadap kondisi pasar yang kelebihan pasokan, dan akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Hal ini nampaknya dipandang pelaku pasar sebagai “juru selamat” yang mampu mengangkat harga minyak dari jurang keterpurukan.

“Kita berekspektasi bahwa OPEC akan mengelola pasar di 2019, dan mengkaji kemungkinan kesepakatan untuk memangkas produksi di kisaran 2-3 (juta barel/hari). Dengan skenario itu, harga Brent akan pulih ke angka US$ 70/barel,” tulis Martijn Rats dan Army Sergeant, analis komoditas dari Morgan Stanley, pada laporannya akhir pekan lalu, seperti dikutip dari Reuters.

Potensi pemangkasan produksi oleh negara-negara produsen ini pun nampaknya mampu menjadi alasan harga minyak mampu rebound pagi ini. Akan tetapi, tidak sedikit pula pelaku pasar yang nampaknya masih meragukan aksi OPEC ini. Ada 2 hal yang menjadi alasan.

Pertama, Iran (yang merupakan salah satu anggota OPEC) diekspektasikan tidak mau terlibat dari aksi pemangkasan produksi tersebut. Padahal, Iran merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di dalam kartel minyak itu.

Tidak hanya Iran, Russia (yang secara de facto memimpin mitra produsen non-OPEC) juga belum memberikan sinyal bahwa akan bergabung di dalam kesepakatan pemangkasan tersebut.

Kedua, kemesraan AS dengan Arab Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC), membuat investor pesimis bahwa rencana pemangkasan itu akan terealisasi.

Donald Trump menyatakan bahwa AS tetap berniat menjadi “mitra yang loyal” dari Saudi, meskipun “mungkin saja” Pangeran Saudi Mohammed bin Salman terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.

Tidak hanya itu, kemarin Trump kembali memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.

“Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!”

Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC akhirnya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global.

“Jika OPEC tidak memangkas produksi, harga dapat turun jauh lebih rendah, berpotensial terdepresiasi melewati US$ 50/barel,” kata Lukman Otonuga, analis dari FXTM, seperti dikutip dari Reuters pada akhir pekan lalu.

Alhasil, pelaku pasar belum bisa bernafas lega. Masih banyak “hantu” yang membayangi harga minyak mentah dunia.

cnbcindonesia.com

LEAVE A REPLY