Jaksa Agung tak mau kalah tapi tidak ingin disebut saingan KPK

0

Jakarta, Pelita.Online – Jaksa Agung HM. Prasetyo sempat menyinggung kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulai dari penuntutan, penyadapan hingga operasi tangkap tangan. Aksi operasi tangkap tangan dinilai membuat gaduh, namun ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pemberantasan korupsi di tanah air. Indikatornya, IPK Indonesia beberapa tahun ini tidak mengalami kenaikan signifikan.

Soal kewenangan penuntutan juga menjadi sorotan. Dia mencontohkan lembaga antirasuah di Singapura, Malaysia hanya memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan saja. Sementara, kewenangan penuntutan harus seizin Kejaksaan Agung. Pemisahan wewenang penuntutan itu terbukti membuat KPK di Malaysia dan Singapura menjalankan tugas pemberantasan korupsi dengan efektif dan profesional.

Setelah pernyataannya ramai diperbincangkan, Jaksa Agung meluruskan. Dia mengklarifikasi pernyataannya soal pengembalian kewenangan penuntutan perkara di KPK kepada Kejaksaan Agung.

“Berkenaan dengan viral dan sempat muncul di media termasuk media sosial yang waktu itu dikatakan bahwa Kejaksaan Agung meminta fungsi penuntutan KPK dikembalikan ke kejaksaan, kita hanya menjawab pertanyaan Komisi III, sempat diplesetkan,” kata Prasetyo di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10).

Jaksa Agung tidak mau kalah dari KPK. Contohnya dalam hal penyadapan. Dia menyebut institusinya mempunyai alat sadap yang tidak kalah canggih dari KPK. Namun bedanya, lanjut Prasetyo, Kejaksaan Agung tidak bisa bebas menggunakan alat sadap itu dibandingkan KPK.

“InsyaAllah alat sadap kami tidak kalah dengan alat yang lain termasuk KPK. Tapi kembali lagi penggunaannya berbeda, kebebasan menggunakan berbeda antara KPK dan kejaksaan,” kata Prasetyo.

Menurutnya, KPK bisa menggunakan alat sadap kapan pun dan kepada siapapun atas nama penanganan kasus korupsi. Sedangkan Kejaksaan harus mengantongi izin sebelum menggunakan alat sadap serta diperuntukkan pada tahap penyidikan saja.

“KPK bisa kapan saja menyadap, siapa saja disadap untuk kepentingan apapun dia bisa lakukan. Tetapi kejaksaan harus memerlukan izin. Dan penggunaan alat sadap Kejaksaan baru bisa digunakan pada tahap penyidikan padahal sebenarnya di tahap penyelidikan kita perlukan,” sambung Prasetyo.

Meski seolah tak mau kalah, tapi Jaksa Agung tidak ingin dipandang sebagai saingan KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Berulang kali dia menegaskan bahwa pemberantasan korupsi merupakan tugas semua penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung maupun KPK. Karena itu Prasetyo secara tegas menolak bergabung ke dalam Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bentukan Mabes Polri.

“Di samping saya ingin menyampaikan menghindari ada anggapan nanti ini dianggap saingan KPK,” kata Prasetyo.

Meski menolak bergabung, Kejaksaan akan tetap menjalankan tugasnya untuk menerima hasil penyelidikan dan penyidikan terkait kasus korupsi dari Densus Tipikor sesuai aturan KUHAP.

“Yang dibentuk oleh Polri, kami tetap mengacu pada KUHAP di mana di situ diatur JPU menerima hasil penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan penyidik Polri. Apakah itu kalau dulu bareskrim, dan sekarang untuk korupsi akan dilakukan Densus,” tegasnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung juga sempat menjelaskan alasannya tak mau bergabung dalam Densus Anti Korupsi. Keberadaan Kejaksaan dalam lembaga baru ini akan mengurangi independensi lembaga penegak hukum. Dia khawatir, bergabungnya jaksa dalam Densus Tipikor ini akan membuat penanganan pemberantasan korupsi menjadi tumpang tindih dengan KPK dan Polri.

“Kami khawatir dengan adanya tumpang tindih dan terdegradasi satu sama lain institusi penegak hukum yang ada,” tegas Prasetyo saat rapat bersama Komisi III di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/9).

Merdeka.com

LEAVE A REPLY