Joe Biden Ketar-Ketir, 3 ‘Malapetaka’ Bersiap Guncang AS

0

pelita.online –  Posisi Amerika Serikat (AS) yang memegang hegemoni kekuatan ekonomi dunia pun mulai goyah. Ini dikarenakan kondisi perekonomian domestik negara itu serta manuver beberapa negara dunia untuk meninggalkan dominasi Washington.

Berikut beberapa fenomena yang mulai mengancam posisi perekonomian AS sebagaimana dirangkum CNBC Indonesia, Rabu (10/5/2023):

1. Krisis Perbankan

Krisis perbankan mulai melanda AS. Dimulai dari Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret lalu, kemudian disusul oleh Bank Silvergate dan Signature.

Terbaru, First Republic Bank yang kolaps setelah sahamnya anjlok 50% pada bulan April lalu. Updaya penyelamatan pun dilakukan dengan diakuisisi oleh JPMorgan Chase & Co.

Berjatuhannya bank-bank di ini tidak terlepas dari suku bunga telah meningkat tinggi di negeri Paman Sam itu. Suku bunga AS saat ini berada di kisaran 4,75% sampai 5%.

Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) diekspektasikan akan masih akan menaikkan suku bunga acuannya, Rabu ini waktu setempat. Sikap Hawkish ini sendiri dilakukan the Fed sebagai langkah menjinakkan inflasi yang tinggi di tengah kondisi pasar tenaga kerja yang ketat dan sektor perbankan yang bergejolak.

2. Gagal Bayar Utang (Default)

Negeri Paman Sam juga memiliki potensi gagal bayar atau default pada 1 Juni mendatang. Hal ini dikarenakan sikap parlemen yang belum setuju kenaikan plafon batas utang.

Dalam wawancara di program ABC’s This Week, Menteri Keuangan (Menkeu) Janet Yellen menyebut kegagalan untuk menaikkan plafon utang akan menyebabkan penurunan ekonomi yang tajam. Ia juga meramalkan bahwa Departemen Keuangan juga kemungkinan bisa kehabisan langkah untuk membayar kewajiban utangnya pada bulan Juni.

“Proyeksi kami saat ini adalah bahwa pada awal Juni, suatu hari akan tiba ketika kami tidak dapat membayar tagihan kami kecuali Kongres menaikkan plafon utang, dan itu adalah sesuatu yang saya sangat mendesak Kongres untuk melakukannya,” kata Yellen dalam program tersebut sebagaimana diwartakan CNBC International.

Kemarin Presiden AS Joe Biden juga telah bertemu dengan sejumlah angora parlemen terkemuka, termasuk DPR dari partai lawannya, Republik. Namun dari update Reuters, Rabu, kebuntuan gagal dipecahkan.

Utang AS diketahui mencapai US$ 31 triliun atau sekitar Rp 460.000 triliun (kurs Rp 14.900/US$). Bengkaknya utang dipicu oleh pandemi Corona (Covid-19), di mana pemerintah harus menggelontorkan stimulus US$ 5 triliun guna menyelamatkan perekonomian.

Namun AS memang tidak pernah lagi mengalami posisi surplus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sejak 1957. Sejak saat itu, AS terus mengalami defisit APBN, di mana untuk membiayai belanja perlu menambah utang melalui penerbitan Treasury misalnya.

Pembayaran bunga utang yang ada sebelumnya juga dilakukan dengan menerbitkan surat utang lagi. Ini yang terus menerus dilakukan Paman Sam.

Sebelumnya, pada tahun 2011, pertarungan pagu utang di negara itu juga membawa AS ke jurang gagal bayar dan mendorong penurunan peringkat kredit terkemuka negara itu. “Kali ini, negosiasi mungkin lebih sulit,” kata para veteran tahun 2011.

3. Dedolarisasi

Gerakan untuk meninggalkan dolar AS (dedolarisasi) dalam transaksi internasional pun baru-baru ini mencuat setelah Rusia mulai mengusulkannya dalam aliansi dagang terbesar dunia, BRICS. Usulan ini digagas Moskow lantaran manuver politik AS dan sekutunya untuk memberikan sanksi ekonomi pada Rusia akibat perang di Ukraina.

Namun di sisi lain, gejolak ekonomi di AS juga menjadi penyebab banyak negara kini mempertimbangkan untuk tidak terlalu banyak menggantungkan likuiditasnya dalam bentuk mata uang itu. Apalagi dengan adanya krisis perbankan dan potensi gagal bayar yang kemungkinan terjadi pada 1 Juni 2023 mendatang.

Hal ini juga diamini Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional atau IMF Kristalina Georgieva. Ia mengungkapkan, bagaimana saat ini dolar AS telah kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.

“Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%,” ujar Georgieva di acara Global Milken Institute 2023.

Adapun, dia melihat pengganti dolar AS sebagai mata uang cadangan seperti euro, poundsterling Inggris, yen Jepang dan yuan China. Dari mata uang tersebut, bos IMF melihat euro memegang potensi terbesar.

Patut disadari fenomena dedolarisasi mulai dilakukan oleh banyak negara di dunia. India telah mengeluarkan kebijakan baru untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan mereka sejak April 2023.

Salah satunya dengan Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA). Indonesia ternyata telah mengurangi ketergantungan akan dolar sejak 2018.

Bank Indonesia (BI) menggencarkan penggunaan mata uang lokal melalui settlement currency atau local currency settlement (LCS) dalam transaksi perdagangan bilateral Indonesia dengan negara mitra sejak 2018. LCS adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara di mana setelmen transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing.

sumber : cnbcindonesia.com

LEAVE A REPLY