Khutbah Jumat: Tugas Ulama, Meluruskan Penyimpangan Penguasa

0

Khutbah Pertama

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

 اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Jamaah Jumat rahimakumullah

Nasihat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan seorang muslim. Di mana pun dan kapan pun, seorang muslim selalu dianjurkan untuk saling menasihati satu sama lain. Bahkan Nabi SAW sendiri menyebutkan bahwa agama itu sendiri adalah nasihat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya, dari Tamim Ad-Dari r.a, bahwa Nabi SAW bersabda;

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ

“Agama itu nasihat, Agama itu nasihat, Agama itu nasihat. Mereka bertanya, ‘Untuk siapakah, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara keseluruhan’.” (HR. Muslim)

Dalam kitab  Syarh An-Nawawy ‘ala Shahih Muslim, I/38, Imam An-Nawawi menjelaskan, “Makna nasihat untuk pemimpin kaum muslimin yaitu membantu dan mematuhi mereka dalam kebenaran, memerintahkan mereka melakukan kebaikan, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, memberitahukan apa saja yang mereka lalaikan dan hak-hak kaum muslimin yang belum ia dengar, tidak memberontak terhadap mereka, dan menyatukan hati rakyat untuk mematuhi mereka.”

Jamaah Jumat rahimakumullah

Menurut Syekh Abu Amr bin Shalah, Nasihat adalah kata menyeluruh mencakup makna orang yang memberi nasihat melakukan segala bentuk kebaikan untuk orang yang dinasihati, baik dalam bentuk keinginan maupun aksi nyata.”

Upaya menasihati pemimpin merupakan cara meluruskan kebijakan penguasa agar tidak keluar dari petunjuk syar’i. Idealnya, menasehati pemimpin akan lebih bagus ketika bisa dilakukan secara face to face atau empat mata. Sebagaimana dalam  sebuah hadis:

“Barangsiapa hendak menasihati pemilik kekuasaan, janganlah ia menyampaikannya secara terang-terangan. Hendaklah ia meraih tangan (si sultan) dan (berbicara) berdua dengannya. Jika (sultan) mau menerimanya, ia pasti menerimanya. Jika (sultan) tidak (menerima), (orang yang memberikan nasihat) sudah menunaikan kewajibannya yang menjadi hak (sultan)’.” (HR. Ahmad)

BACA JUGA  Khutbah Jumat: Cara Orang Mukmin Menghadapi Musibah Gempa

Jamaah Jumat rahimakumullah

Namun itu bukanlah satu-satunya cara dalam upaya merubah kebijakan penguasa yang dianggap keliru. Ketika nasihat dengan cara empat mata sudah tidak efektif, bahkan pemimpin justru menampakkan kezalimannya tak bergeming dengan nasihat, maka menasehati secara terbuka menjadi sebuah pilihan. Bahkan ia menjadi sebuah keharusan ketika kezaliman penguasa semakin merajalela.

Dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad dengan sanad yang bersambung hingga Abdullah bin Amr, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ أُمَّتِي تَهَابُ فَلَا تَقُولُ لِلظَّالِمِ : يَا ظَالِمُ فَقَدْ تُوُدِّعَ مِنْهُمْ

“Jika engkau melihat umatku takut, sehingga tidak berani mengatakan kepada orang zalim, ‘wahai orang zalim,’ maka mereka tidak berarti lagi (keberadaannya).”(HR. Ahmad)

Jamaah Jumat rahimakumullah

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendorong agar setiap mukmin menyampaikan nasihat kepada pemimpin zalim meski mengkhawatirkan keselamatan diri mereka. Nabi SAW menganggapnya sebagai jihad terbaik.

Diriwayatkan dari Umamah r.a bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah! Jihad apa yang paling utama?’ Saat itu Rasulullah SAW tengah melempar jumrah ula, beliau berpaling darinya. Saat beliau melempar jumrah wustha, orang tersebut bertanya lagi, beliau kembali berpaling. Setelah beliau melempar jumrah aqabah dan meletakkan kaki beliau di atas batang kayu, beliau bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ ‘Saya, wahai Rasulullah,’ jawab orang tersebut. Beliau kemudian bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

 “Jihad paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan sultan yang zalim’.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Al-Khathabi dalam kitab Al-Uzlah, hal; 92, menjelaskan, “Mengatakan kebenaran di hadapan sultan zalim dinilai sebagai jihad paling utama karena orang yang berjihad memerangi musuh punya harapan menang dari musuh dan tidak lemah menghadapinya karena ia tidak yakin akan dikalahkan. Sementara orang yang mengatakan kebenaran di hadapan sultan zalim tahu bahwa kekuasaan sultan lebih besar dari kekuasaannya, sehingga pahala diberikan sesuai beban berat yang ditanggung.”

Jamaah Jumat rahimakumullah

Ulama salaf biasa menyampaikan kebenaran dan nasihat kepada imam-imam zalim secara langsung di hadapan mereka, meski mereka yakin akan disiksa karenanya. Mereka tidak takut celaan siapa pun juga selagi karena Allah, karena mereka tahu bahwa siapa yang terbunuh karena hal itu, ia mati syahid.

Sebut saja misalnya kisah tatkala Marwan bin Hakam mengeluarkan mimbar pada hari raya dan  berkhutbah terlebih dahulu sebelum shalat dengan menyelisihi sunnah Nabi SAW. Abu Sa’id mengisahkan peristiwa ini dengan lengkap. Beliau berkata, “Tatkala kami telah sampai di tanah lapang, ternyata mimbar yang dibangun oleh Katsir bin Al-Shalt telah disediakan. Tiba-tiba Marwan hendak menaikinya untuk berkhutbah. Lantas, aku tarik bajunya dan ia pun menarik tanganku, lalu ia naik mimbar dan berkhutbah sebelum shalat.

Lantas, aku berkata kepadanya, ‘Wallahi, kamu telah mengubah sunnah!’ Ia berkata, ‘Wahai Abu Said, apa yang engkau ketahui telah ditinggalkan.’ Maka, aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, apa yang aku ketahui lebih baik daripada yang tidak aku ketahui.’

Lalu, ia berkata, ‘Sesungguhnya manusia tidak akan mendengarkan khutbah kami setelah shalat, maka aku dahulukan khotbah sebelum shalat’.” (HR. Bukhari-Muslim)

BACA JUGA  Khutbah Jumat: Cara Orang Mukmin Menghadapi Musibah Gempa

Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, 2/450, berkata, “Dalam hadits ini terdapat contoh pengingkaran para ulama terhadap para penguasa manakala mereka menyelisihi sunnah.”

Jamaah Jumat rahimakumullah

Kisah di atas hanya salah satu teladan para ulama yang mengungkapkan ketegasan mereka dalam menyampaikan nasihat kepada para pemimpin. Mereka tidak terlalu mempedulikan kekuasaan para sultan. Mereka berserah diri sepenuhnya kepada Allah, menjalankan kewajiban yang dibebankan Allah kepada mereka, dan meniti jalan menuju mati syahid.

Menasihati pemimpin, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, tidak tepat kalau hanya dipandang mana yang salah dan mana yang benar. Karena ia hanyalah sebagai uslub (metode) dalam meluruskan kebijakan pemimpin. Ketika menasihati pemimpin dengan cara keteladanan, doa dan lisan tersembunyi tidak lagi efektif maka menasihati secara terang-terangan menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih ketika kezaliman pemimpin semakin merajalela di tengah-tengah umat.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khutbah Kedua:

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

 اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

 اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.

 رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

LEAVE A REPLY