Lulusan SMK Banyak Menganggur, Menteri Bambang Anggap Anomali

0
Bambang Brodjonegoro. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Pelita.online – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menilai ada anomali terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Ini lantaran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) lebih banyak menganggur dibanding Sekolah Menengah Atas (SMA).

Bambang mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018 yang menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia sebesar 6,99 juta orang, atau 5,34 persen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 131,01 juta jiwa.

Dari jumlah tersebut, lulusan SMK menganggur tercatat 11,24 persen, sementara lulusan SMA menganggur mengambil porsi 7,95 persen.

Menurut Bambang kondisi ini terbilang tak masuk akal. Sebab, lulusan SMK harusnya bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena dibekali kompetensi dan keterampilan yang mumpuni dibandingkan SMA.

“Ini justru logika yang agak terbalik, lulusan SMK malah mendominasi pengangguran. Harusnya kan lulusan SMK lebih mudah cari pekerjaan,” tutur Bambang, Rabu (3/4).

Oleh karenanya, ia berkesimpulan bahwa manajemen SMK di Indonesia masih kurang baik. Adapun, permasalahan utama dari pendidikan vokasi adalah kompetensi lulusannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang diminta pelaku usaha.

Bambang menjabarkan bahwa selama ini Indonesia hanya berkutat di pendidikan vokasi berbasis jasa. Sementara itu, kegiatan vokasi yang umum di negara lain (best practice) adalah berbasis sertifikasi kompetensi agar perusahaan percaya dengan kemampuan lulusan SMK.

Ia menganggap, negara yang sukses menerapkan pendidikan vokasi adalah Jerman. Negara Eropa tersebut memberlakukan kurikulum magang selama satu semester, di mana siswa tak hanya memperoleh sertifikat magang namun juga sertifikat kompetensi.

“Jadi ketika mereka lulus, mereka tak hanya punya ijazah tapi sertifikat kompetensi. Makanya mereka gampang mencari kerja. Sistem ini simple, tapi tentu butuh komitmen,” tutur Bambang.

Reformasi SMK, lanjut dia, tentu tak mudah. Pertama, instansi terkait perlu mengubah kurikulum untuk mengurangi pendidikan kelas dan memperbanyak praktik. Kedua, pengembangan pendidikan vokasi juga perlu bermitra dengan pelaku industri agar lulusannya bisa sesuai dengan permintaan dari pelaku usaha.

Sebagai insentif, saat ini pemerintah tengah menyiapkan pengurangan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar 200 persen bagi perusahaan yang mau membuka pendidikan vokasi. Kebijakan yang disebut super deductible tax ini sedianya tengah digodok Kementerian Keuangan.

“Implementasi yang paling efektif adalah melibatkan dunia usaha pemberi kerja untuk terlibat langsung dari sejak pendidikan. Jadi mereka tidak hanya di ujung menerima lulusan, tetapi pada awal pendidikan mereka sudah terlibat. Itu pun menguntungkan perusahaan juga, karena mereka juga bisa mendeteksi pekerja-pekerja yang akan mereka rekrut,” jelas Bambang.

cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY