Mengenal Lie Detector Tes Pendeteksi Kebohongan, Seberapa Akurat Uji Poligraf?

0

Pelita.Online –  Uji poligraf adalah tes untuk mendeteksi apakah orang tersebut mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak ketika menjawab pertanyaan tertentu.

Terlepas dari nama populernya sebagai lie detector alias ‘pendeteksi kebohongan,’ poligraf tidak dapat mendeteksi kebohongan.

Sebagian besar pemeriksa poligraf dalam lie detector mengatakan, mereka tidak menguji kebohongan secara khusus, tetapi menguji reaksi menipu.

Mulanya, poligraf digunakan berdasarkan teori bahwa kebanyakan orang jujur atau orang yang tidak menipu, tidak akan mengalami perasaan cemas atau gugup.

Teori ini berasal dari gagasan bahwa kebanyakan orang merasa tidak enak karena berbohong karena takut ketahua atau akan mendapat masalah jika berbohong. Ketakutan dan rasa bersalah inilah yang akan menghasilkan kecemasan dan kegugupan.

Ketika seseorang merasakan kedua hal tersebut, mereka akan menunjukkan perilaku yang tidak mereka sadari dan perilaku ini dapat dideteksi dengan poligraf.

Ketika seseorang melakukan uji poligraf lie detector, ada empat hingga enam sensor yang dipasang pada tubuhnya.

Poligraf adalah mesin ketika beberapa (poli) sinyal dari sensor direkam pada suatu strip kertas yang bergerak (grafik). Umumnya, sensor akan merekam:

  1. Tingkat pernapasan, diukur dengan pneumograf
  2. Denyut nadi, diukur dengan kardiograf
  3. Tekanan darah, diukur dengan kardiograf
  4. Peningkatan keringat, diukur dengan perubahan hambatan listrik

Terkadang, poligraf juga akan merekam gerakan lengan dan kaki.

Karena keempat tanda tersebut dapat menyertai keadaan fisik lainnya seperti penyakit tertentu, penggunaan alkohol, narkoba, atau konsumsi obat-obatan tertentu, uji poligraf menjadi tidak meyakinkan.

Ketika uji poligraf dimulai, penguji akan mengajukan tiga atau empat pertanyaan sederhana untuk menetapkan standar norma bagi sinyal orang yang akan diuji. Setelah itu, pernyataan-pernyataan nyata untuk menguji akan ditanyakan.

Selama pertanyaan berlangsung, seluruh sinyal orang tersebut akan direkam pada grafik. Baik selama pengujian maupun setelah pengujian, pemeriksa poligraf dapat melihat grafik dan mengidentifikasi sinyal-sinyal yang berubah secara signifikan pada salah satu pertanyaan.

Secara umum, perubahan sinyal yang signifikan akan menunjukkan bahwa orang tersebut ‘berbohong.’ Sinyal dapat meliputi detak jantung yang berdegup lebih cepat, tekanan darah yang lebih tinggi, dan peningkatan keringat.

Jika penguji kompeten dan terlatih menggunakan poligraf, ia dapat mendeteksi kebohongan dengan akurasi tinggi. Namun, karena interpretasi pemeriksa bersifat subjektif, tes poligraf tidak akan sempurna dan valid.

Keakuratan dari pengujian poligraf telah lama menjadi kontroversi karena tidak ada bukti nyata bahwa pola reaksi apapun adalah unik untuk menunjukkan kebohongan.

Orang yang jujur ​​mungkin gugup saat menjawab dengan jujur ​​dan orang yang tidak jujur ​​mungkin tidak cemas ketika berbohong.

Dilansir Pikiran-Rakyat.com dari American Psychological Assosiation, Dr. Saxe dan psikolog Israel Gershon Ben-Shahar juga mencatat ‘pada kenyataannya, mungkin mustahil untuk melakukan studi validitas yang tepat.’

Jadi seberapa akurat poligraf dalam lie detector untuk mendeteksi kebohongan?

Terdapat beberapa ulasan tentang keakuratan poligraf. Dilansir dari The Conversation, poligraf memiliki akurasi antara 80 persen dan 90 persen. Meskipun tidak memuaskan, angka ini lebih baik daripada kemampuan rata-rata orang untuk mengidentifikasi kebohongan, yakni hanya sekitar 55 persen.

Namun, tak dapat dimungkiri bahwa pengujian ini dapat dikelabui oleh orang-orang yang paham akan cara kerja poligraf.

Beberapa penelitian menunjukkan, poligraf lebih buruk dalam mendeteksi orang yang jujur daripada mendeteksi mereka yang berbohong. Dalam beberapa kasus, pengujian ini menunjukkan, orang-orang yang berkata jujur dianggap melakukan penipuan setelah dilihat dari grafik poligrafnya.(Khadijah Ardallyana Qirba)

sumber : pikiran-rakyat.com

LEAVE A REPLY