Mereka yang menentang dan pasang badan buat Setya Novanto

0

Jakarta, Pelita.Online – Hasil praperadilan yang menangkan Setya Novanto tak membuat internal Golkar berhenti bergejolak. Malahan, kubu yang menentang dan membela sang ketua umum semakin terlihat ke permukaan.

Ada yang ingin Novanto tetap di kursi orang nomor satu Golkar, banyak juga yang ngotot ketua DPR itu segera lengser. Dua kubu saling punya pandangan masing-masing.

Mereka yang pro menganggap isu pelengseran selesai, sebab status tersangka Novanto sudah dibatalkan. Di sisi lain, Novanto dianggap tetap membuat citra Golkar semakin merosot jelang Pemilu 2019.

Berikut deretan politikus Golkar yang membela dan menentang kepemimpinan Setya Novanto, dihimpun merdeka.com, Kamis (5/10):

Ahmadi Noor Supit

Supit sejak awal memang berada di pihak berseberangan dengan Novanto. Dia adalah mantan Timses Ade Komarudin melawan Novanto saat Munaslub Golkar pada 2016 lalu.

Dia ingin Novanto segera mundur dari Golkar. Hal ini dilakukan demi menyelamatkan nasib Golkar jelang Pemilu 2019. Supit juga ingin ada Munaslub sesegera mungkin.

“Pertama tentu kembali kepada yang bersangkutan (Novanto), kalau mestinya sebagai kader yang baik, penyelamatan partai di atas segala-galanya, jadi itu pertama mundur adalah jalan yang terbaik,” kata Supit saat dihubungi merdeka.com pekan lalu.

“Kedua, dimundurkan untuk kepentingan bangsa dan negara. Partai Golkar dibutuhkan bangsa dan negara, ini partai besar, saya kira bisa melakukan upaya penyelamatan nonaktifkan, sangat bisa, caranya keputusan pleno menyelamatkan partai kalau kemudian menonaktifkan dibawa ke forum lebih tinggi, Rapimnas dilaporkan, kemudian menyepakati maka kesepakatan ketum dinyatakan berhalangan harus dimundurkan,” kata Supit.

Nurdin Halid

Meski menjabat sebagai ketua harian Golkar, Nurdin Halid tampaknya menjadi pihak yang setuju jika Novanto lengser. Dia juga orang yang mendesak agar rekomendasi Tim Pengkajian yang meminta Novanto nonaktif segera dibahas di rapat pleno Golkar.

Bahkan, sekalipun rapat itu tanpa disetujui Sekjen Golkar Idrus Marham. Nurdin menyebut, rapat bisa dilakukan meski tak diteken Idrus.

“Bisa saja (rapat tanpa tanda tangan Sekjen). Korbid kepartaian juga bisa. Ketua harian juga bisa. Tergantung kepentingannya kan,” kata Nurdin usai rapat bahas Pilkada serentak di DPP Golkar, Senin (2/10).

Ketika ditegaskan, rapat pleno bisa digelar tanpa persetujuan Sekjen Golkar, Nurdin mengatakan, bisa saja.

“Ya bisa saja. Misalkan saja begini, korbid kepartaian dan wasekjennya bikin rapat. korbid polhukamnya kan juga bisa,” tegas Nurdin.

Nusron Wahid

Koordinator Pemenangan Pemilu Golkar Sumatera-Jawa, Nusron Wahid angkat bicara terkait kemenangan Setnov dalam praperadilan atas kasus tersangka korupsi e-KTP. Nusron mengingatkan agar melihat jeritan rakyat yang ingin melihat pemimpin bersih terutama dalam praktik korupsi.

“Selepas legal formal itu. Pada satu sisi kita harus menghormati keputusan pengadilan. Tapi pada sisi lain kita enggak bisa buta pada aspirasi dan jeritan rakyat. Keinginan rakyat butuh sosok partai yang clean government. Partai yang cut of position dari perilaku yang koruptif. Partai apapun itu,” kata Nusron usai rapat pleno di DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (2/10).

Menurut Nusron, memang kemenangan praperadilan Setnov belum diketahui terhadap elektabilitas partai. Namun dia kembali mengingatkan bahwa rakyat sangat membenci praktik korupsi.

“Kita belum mengukur kalau itu harus survei. Tapi fakta membuktikan bahwa masyarakat sangat benci terhadap dan sangat tidak suka pada perilaku korupsi,” ujar dia.

Mahyudin

Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Mahyudin mengatakan, saat ini penunjukkan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum tidak lagi diperlukan. Sebab, PN Jakarta Selatan telah menganulir penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP oleh KPK.

“Tapi kan ketua umum kan sebagaimana kita ketahui menang di praperadilan otomatis statusnya dia sekarang tidak tersangka. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk Plt-pltan,” kata Mahyudin saat dihubungi, Senin (2/10).

Secara aturan AD/ART juga tidak serta merta bisa memberhentikan dan menunjuk Plt tanpa melalui mekanisme Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Mahyudin mengklaim DPD-DPD solid menginginkan Setnov tetap menjadi ketua umum.

“Munaslub itu harus ada mendapat permintaan atau persetujuan 2/3 pengurus di daerah dan di daerah-daerah tetap solid loyal kepada ketum, jadi saya kira tidak ada hal yang signifikan,” tegasnya.

Ridwan Bae

Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Sulawesi Tenggara, Ridwan Bae menegaskan, turunnya elektabilitas partai jelang Pemilu 2019 tanggung jawab semua kader. Menurut dia, merosotnya elektabilitas Golkar bukan semata kesalahan ketua umum Setya Novanto.

“Bicara soal elektabilitas tanggung jawab semua kader. DPP itu ada 41 bidang, 279 pengurus. Maka berarti itu selain itu ditambah 34 provinsi kemudian ditambah 540 kabupaten kota seluruh Indonesia, lalu desa dan desa kecamatan ada 80 ribu seluruh Indonesia itu semua bertanggungjawab, tidak hanya dia (Setya Novanto),” ujar Ridwan di RS Premier Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (2/10).

Menurutnya, elektabilitas Golkar sudah turun sejak lama. Kasus korupsi e-KTP yang sempat menjerat Setnov tidak begitu mempengaruhi. “Emang udah lama turun duluan,” ucapnya.

Kemenangan Setnov di praperadilan Jumat (29/9) lalu, harus disambut baik oleh semua kader. Dia berharap, kemenangan Setnov membuat Partai Golkar lebih solid.

“Kemenangan Pak Novanto secara pribadi di praperadilan harus kita sambut dengan suasana yang makin meningkatkan solidaritas kami semua di seluruh Indonesia,” tutur Ridwan.

Edwin Ricardo Silalahi

Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Edwin Ricardo Silalahi menegaskan, rapat harian DPP Golkar pada 25 September lalu yang mengusulkan ditunjuknya pelaksana tugas (Plt) ketua umum menggantikan Setya Novanto penuh rekayasa. Terutama hasil survei yang dijadikan alasan untuk mengganti Setnov karena elektabilitas Golkar yang terus turun.

“Ada beberapa kader Soksi yang jadi pengurus DPP yang pada saat tanggal 25 September rapat harian, kita hadir. Jadi pemberitaan yang beredar yang menyatakan bahwa rapat harian itu merekomendasikan kebijakan hasil survei itu manipulatif,” kata Edwin dalam konferensi pers SOKSI di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (28/9).

Dia menjelaskan, mayoritas peserta yang mengikuti rapat harian tersebut menolak hasil kajian yang disebutkan melibatkan 3 lembaga survei. Dan pihaknya pun menolak, karena tidak pernah menerima hasil survei.

“Itu survei ujug-ujug dibikin, terus direkayasa hasilnya Plt ketum dan ini bertentangan dan asas prinsip di Golkar. Karena agenda rapat tanggal 25 itu tentang materi pokok rapat kerja nasional tapi tiba-tiba muncul survei dan diarahkan. Ini adalah sebuah manipulatif yang dilaksanakan secara sistemik. ini adalah pembohongan publik, itu bukan rekomendasi harian,” tuturnya.

Merdeka.com

LEAVE A REPLY