Pak Harto Mengawali Bank Syariah

0

SEMUANYA berawal dari lokakarya “Bunga Bank dan Perbankan” yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Lokakarya tersebut melahirkan ide mendirikan bank yang berdasarkan syariat Islam di Indonesia. Gagasan ini berlanjut dalam Musyawarah Nasional IV MUI di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pada 22 – 25 Agustus 1990 yang kemudian berhasil membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah.

Bak gayung bersambut, gagasan itu langsung ditindaklanjuti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ketua ICMI BJ Habibie waktu itu menyampaikan gagasan tersebut kepada Presiden Soeharto. Tak berlama-lama Pak Harto menyetujui pendirian bank berdasarkan syariah pertama di Indonesia. Namanya Bank Muamalat Indonesia. BMI resmi didirikan pada 1 November 1991 dan mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Namun saat berdiri, BMI hanya mengantongi izin dari Menteri Kehakiman. Baru setelah tiga tahun beroperasi, tepatnya pada 27 Oktober 1994, Bank Muamalat mendapat kepercayaan Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Devisa.

Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) Adhiwarman Karim mengatakan berdirinya BMI tidak bisa dilepaskan dari peran Pak Harto. Saat itu nama yang diajukan adalah Bank Muamalat Islam Indonesia. Namun Pak Harto lebih setuju dengan Bank Muamalat Indonesia. Itu karena, bagi Pak Harto, BMI tak hanya akan melayani umat Islam tapi seluruh bangsa Indonesia. Saat itu perizinan bank baru memang tertutup dan UU Bank Sentral serta UU Perbankan tidak memungkinkan dibukanya bank tanpa bunga. Namun, lewat tangan Pak Harto, akhirnya BMI pun berdiri. “Tanpa Pak Harto saat itu susah. Karena belum ada undang-undang,” ujar Adhiwarman.

Dukungan dan Pak Harto bukan saja pada aspek kebijakan tapi juga permodalan. Pak Harto melibatkan tiga yayasan sosial milik beliau untuk menjadi pemegang saham dan menyetorkan modal untuk pendirian BMI tanpa imbalan apa pun. Dukungan Pak Harto mampu mendorong peran serta sejumlah pengusaha dan menteri muslim di dalam Kabinet Pembangunan V. Bantuan dana, utamanya dari Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, mampu memenuhi kebutuhan setoran modal pertama dalam pengajuan izin prinsip pendirian bank.

Pada Jumat 27 Syawwal 1412 Hijriah, bertepatan dengan 1 Mei 1992, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia meresmikan mulai beroperasinya BMI dalam acara “Soft Opening” di Gedung Arthaloka, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Kemudian, dua minggu setelah itu, atau 15 Mei 1992, diadakan “Grand Opening” di Puri Agung Sahid Jaya Hotel, Jakarta. Peresmian ini diawali dengan sambutan tertulis Presiden Soeharto dan sambutan Wakil Presiden Sudharmono yang sekaligus menandatangani prasasti berdirinya bank pertama di Indonesia yang dioperasikan berdasarkan konsep syariah Islam.

Saat ini BMI memberikan layanan bagi lebih dari 2,5 juta nasabah melalui 275 gerai yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Jaringan BMI didukung pula oleh aliansi melalui lebih dari 4000 Kantor Pos Online/SOPP di seluruh Indonesia, 32.000 ATM, serta 95.000 merchant debet.

BMI saat ini juga merupakan satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar negeri, yaitu di Kuala Lumpur, Malaysia. Untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah di Malaysia, kerjasama dijalankan dengan jaringan Malaysia Electronic Payment System (MEPS) sehingga layanan BMI dapat diakses di lebih dari 2000 ATM di Malaysia.

Sebagai bank syariah pertama, BMI juga menghadirkan layanan perbankan yang tidak hanya patuh terhadap syariah, tapi juga kompetitif dan aksesibel bagi masyarakat hingga pelosok Nusantara. Komitmen tersebut diapresiasi oleh pemerintah, media massa, lembaga nasional dan internasional serta masyarakat luas. Terhitung sudah 70 penghargaan bergengsi yang diterima BMI dalam 5 tahun Terakhir. Penghargaan yang diterima antara lain sebagai Best Islamic Bank in Indonesia 2009 oleh Islamic Finance News (Kuala Lumpur), sebagai Best Islamic Financial Institution in Indonesia 2009 oleh Global Finance (New York) serta sebagai The Best Islamic Finance House in Indonesia 2009 oleh Alpha South East Asia (Hong Kong)

LEAVE A REPLY