PBNU: Sejarah Menjadi Alarm Persatuan Bangsa

0
Sejumlah warga mengikuti upacara Hari Kesaktian Pancasila di Krakitan, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (1/10/2020). Selain untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila, kegiatan kirab dan upacara Bendera Merah Putih yang dilakukan oleh warga setempat tersebut untuk menjaga kebersamaan gotong royong menjaga nilai-nilai Pancasila. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/nz.

Pelita.online – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengatakan, sejarah seyogianya menjadi pengingat atau alarm bagi bangsa untuk tetap menjaga persatuan. Begitu pula halnya dengan kejadian masa lalu yang dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.

“Kejadian ini biar menjadi sejarah yang bisa diceritakan, agar orang dapat mengambil langkah selalu waspada menuju ke kehidupan masa depan. Ketika ini sebagai pelajaran, maka fakta-fakta itu ditulis agar menjadi sejarah untuk tetap waspada. Intinya jangan sampai perang lagi,” kata Marsudi saat dihubungi Suara Pembaruan Kamis (1/10/2020), terkait dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

Marsudi menjelaskan, sejarah perlu ditulis agar generasi bangsa mengetahui selain tragedi pemberontakan PKI ada pemberontakan lain. Dulu PKI disebut jalur kiri dan pemberontakan lain disebut jalur kanan yang dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang mau membuat negara berdasarkan hukum Islam. Selain itu, ada juga gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

“Bangsa ini harus selalu ingat, jangan terlalu ke ‘kiri-kiri’ yang akhirnya hanya meninggalkan sengsara juga. Bunuh-bunuhan antara bangsa sendiri. Atau jangan terlalu ke ‘kanan-kanan’ yang meninggalkan sejarah DI/TII,” kata Marsudi

Marsudi menuturkan, pentingnya sejarah G30S PKI dan DI/TII ditulis, tujuannya agar generasi penerus tetap memposisikan diri di tengah, karena negara Indonesia adalah negara yang disepakati bersama berdasarkan Pancasila.

Selain itu, untuk menjaga situasi tetap aman, Marsudi menuturkan, setiap orang harus bisa saling memberi maaf. Dengan begitu sejarah tidak menjadi alasan perang baru, namun menjadi semangat memberi maaf dan ruang berdialog dan berdiskusi.

“Perlu adanya rekonsiliasi untuk memberi maaf demi memperkuat jati diri bangsa dan memperkokoh ketahanan nasional dan sosial negara,” ucapnya.

Sementara hikmah dari peristiwa G30S PKI dan DI/TII, Marsudi menuturkan, Indonesia melalui NU hadir menjadi delegasi negara lain yang sedang mengalami peristiwa serupa. Dalam hal ini, NU juga terlibat langsung dalam misi perdamaian untuk Afganistan demi menghentikan perang sesama bangsa.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY