Solidaritas Terhadap Ahok di Australia

0
Di Melbourne solidaritas terhadap Ahok dilakukan di Box Hill Gardens./ Sumber foto: Diana Pratiwi

CANBERRA, Pelita.Online – Sama seperti di berbagai kota Indonesia dan di sejumlah negara, sebagian warga Indonesia di Australia berkumpul di Perth, Canberra, Sydney dan Melbourne untuk menyatakan solidaritas terhadap Gubernur Jakarta (Non Aktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun dalam kasus penodaaan agama.

Jumlah warga Indonesia yang paling banyak berkumpul terjadi di Sydney. Diperkirakan sekitar 2000 orang hadir di Botanical Gardens di pusat kota, hari Minggu (14/5/2017).

Warga berkumpul di sana untuk berdoa bersama selama dua menit, dan kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum membubarkan diri.

Donny Verdian adalah salah seorang yang hadir bersama istri, kedua anak dan mertuanya ke acara ini.

“Saya datang karena saya ingin memberi dukungan kepada Indonesia, lebih dari sekadar Ahok, untuk tetap berbhineka, berpancasila dan mempertahankan kesatuan negara, NKRI,” katanya.

Di Melbourne, ratusan warga Indonesia berkumpul hari Sabtu (13/5) siang di Box Hill Gardens, sekitar 20 km dari pusat kota. Sebagian dari mereka setelah menyatakan solidaritas untuk Ahok, mendatangi Satay Festival yang dilangsungkan tidak jauh dari tempat tersebut, festival tahunan yang sudah 27 tahun diselenggarakan oleh warga Indonesia di Victoria.

Salah satu yang hadir adalah Putu Laxman Pendit, yang memberikan orasinya di depan mereka yang hadir. Menurutnya, selain menyampaikan simpati dan empati kepada Ahok, dia juga prihatin bahwa nantinya pilkada yang diselenggarakan serempak di Indonesia akan menjadikan pilkada di Jakarta sebagai panutan.

“Marilah kita lanjutkan, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, upaya mencegah terjadinya hal serupa ke Ahok-Ahok yang lain di masa depan. Apa yang dialami Ahok harus tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Tidak lama lagi, akan ada Pilkada serentak di Indonesia, dan Pilkada Jakarta tidak boleh jadi contoh apalagi panutan,” kata Putu.

“Juga mari kita tempatkan Agama sebagai sumber kearifan dan kedamaian hidup. Janganlah agama didegradasi menjadi sarana mengembangkan sentimen yang menegaskan perbedaan, membangkitkan permusuhan, dan merendahkan martabat. Sentimen-sentimen negatif ini sangat mudah menimbulkan perpecahan, khususnya ketika kita sedang menyelenggarakan aktivitas politik yang sarat dengan kepentingan merebut kekuasaan duniawi,” tambahnya.

Di ibukota Australia Barat, Perth, diperkirakan sekitar 1000 orang warga asal Indonesia berkumpul di Sir James Mitchell Park mengenakan pakaian berwarna merah putih.

Salah seorang yang hadir Lidya Mclure mengatakan alasan keikutsertaan dia. “Karena saya ingin NKRI tetap bersatu tidak bisa dipecah biar pun kita berbeda tapi tetap satu,” katanya.

Walau sudah lebih dari 30 tahun tinggal di luar negeri, dia tetap mencintai Indonesia serta terharu dan sedih dengan keadaan Indonesia saat ini.

“Ketika saya mendengar lagu-lagu kebangsaan Indonesia dinyanyikan, saya sedih karena teringat masa kecil saya di Indonesia. Hari ini sangat berkesan bagiku karena merasa bahwa kita semua satu tidak berbeda-beda dan tetap satu,” katanya lagi.

Sementara itu, Achmad Room Fitrianto, salah seorang mahasiswa di Perth mengatakan baginya Ahok adalah simbol perlawanan terhadap pemerintahan yang slintat-slintut, simbol kebhinekaan, simbol keberanian, simbol yang bisa membangkitkan gairah untuk memiliki dan berpartisipasi dalam pembangunan negeri.

Di Canberra ratusan masyarakat Indonesia menggelar aksi di Lake Burley Griffin hari Minggu (14/5/2017) malam.

Menurut Lelianaq Setiono, salah seorang penggagas kegiatan itu, aksi dilakukan karena kekhawatiran akan masalah yang lebih besar dari pemenjaraan Ahok, yaitu semakin diterimanya kekerasan, dan pemaksaan kehendak suatu kelompok.

“Kami bukan anggota partai, kami merupakan masyarakat Indonesia yang perduli akan keberlangsungan Indonesia yang beraneka ragam dan penuh toleransi,” kata Leliana.

Di antara yang hadir adalah Amrih Widodo, budayawan asal Indonesia yang tinggal di Canberra.

“Situasi politik Indonesia semakin meresahkan dan semakin jauh dari cita-cita dan dasar konstitusi bangsa. Politisasi agama dan intoleransi semakin merajalela dan terus memicu konflik horisontal di masyarakat,” kata Amrih.

“Sudah saatnya silent majority untuk menyatakan sikap,” katanya.

Detiknews

LEAVE A REPLY