Soroti Masih Melebarnya Kesenjangan Sumber Daya Pendidikan

0

Pelita.online – Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU PBNU menyoroti kesenjangan akses sumber daya pendidikan yang semakin lebar antara sekolah/madrasah negeri dan swasta, terutama di perdesaan, perbatasan dan pedalaman.

Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PBNU KH Arifin Junaidi menyebutkan tahun 2020, masih dirasakan kesenjangan yang cukup tinggi terhadap akses sumber daya dari pemerintah antara sekolah/madrasah negeri dan swasta.

“Kesenjangan ini semakin lebar pada satuan pendidikan yang berlokasi di perdesaan, perbatasan, kepulauan, pesisir, dan pedalaman, serta pada keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi,” ujar Ketua LP Ma’arif NU PBNU KH Arifin Junaidi dalam Refleksi Ahir Tahun yang diterima Beritasatu, Jumat (1/1/2021).

Dikatakan anak-anak dari lingkungan perdesaan, perbatasan dan pedalaman menempuh pendidikan di sekolah atau madrasah swasta dengan kondisi sekolah/madrasah yang belum memenuhi standar nasional, karena belum meratanya sumber daya pendidikan.

“Kesenjangan sumber daya pendidikan tersebut meliputi kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan pendidikan,” ujarnya.

Menurutnya kesenjangan sumber daya antara sekolah/madrasah negeri dan swasta menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipastikan merata dan berkualitas.

Keberpihakan kebijakan di tingkat pusat dan daerah diharapkan dapat disusun untuk memperkuat sinergi antara negara-masyarakat-dunia usaha dengan pelaksana dan praktisi satuan pendidikan.

“Pada konteks khusus, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan dan program baru yang bersifat afirmasi untuk mengurangi kesenjangan yang ada, baik pada sumber daya manusia, sarana prasarana, dan pembiayaan pendidikan,” tuturnya.

Terkait kebijakan kembali membuka sekolah tatap muka di masa pandemi Covid-19 yang masih tinggi, menurutnya di satu sisi kebijakan ini menjadi angin segar bagi sejumlah siswa yang sudah mulai jenuh dengan belajar dari rumah.

Namun di sisi lain, kebijakan ini beresiko menciptakan klaster baru covid karena ketidaksiapan sarana prasarana yang ada di satuan pendidikan, kesadaran sebagian masyarakat yang masih rendah, dan kerentanan siswa berisiko terpapar Covid-19 dalam perjalanan dari-dan ke sekolah.

“Jika memang diizinkan kembali sekolah tatap muka, harus ada jaminan kontrol yang kuat dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk meminimalisir risiko terjadinya klaster baru sebagai dampak dari kebijakan ini,” tegasnya.

Mengenai kebijakan Merdeka Belajar, Arifin Junaidi mengharapkan perluna kajian mendalam tentang kebutuhan pendidikan saat ini dan yang akan datang, serta urgensi konsep dan perspektif Merdeka Belajar dalam menjawab tantangan kualitas SDM yang berdaya saing di tingkat global.

Partisipasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menguatkan konsep Merdeka Belajar perlu dilakukan sebelum kebijakan ditetapkan.

Setelah itu, barulah sosialisasi secara luas dan masif penting dilakukan agar para pelaksana dan praktisi pendidikan serta pengambil keputusan di tingkat daerah mampu memahami arah kebijakan dan mampu menerjemahkan ke dalam implementasi kebijakan Merdeka Belajar sesuai dengan konteks lokal masing-masing.

Terkait Ujian Negara (UN) yang ditiadakan, pemerintah harus mempersiapkan dasar hukum yang menguatkan kebijakan ini agar tidak terjadi komplikasi hukum di masa yang akan datang karena UU No. 20/2003 dan PP No. 19/2005 masih mencantumkan keharusan UN.

“Penghapusan UN juga harus mempertimbangkan fungsi UN sebagai sarana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Penghapusan UN harus disertai dengan mekanisme baru yang mempertimbangkan dampak dari penghapusan kebijakan tersebut,” pungkasnya.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY