Stafsus Presiden: Proses Transisi Energi Sudah on the Track

0

Pelita.online – Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menegaskan, proses transisi energi menjadi lebih ramah lingkungan terus dilakukan oleh pemerintah atau sudah on the track. Saat ini bauran energi baru terbarukan (EBT) sudah mencapai sekitar 14%, dan ditargetkan mencapai 23% pada 2025.

“Pada intinya, apa yang dilakukan dengan konteks transisi energi ini sudah on the track. Pak Presiden terus melakukan pengawalan secara langsung, bahkan belum sampai satu bulan ini dibahas proses roadmap energi, secara keseluruhan dievaluasi, dimonitoring, ditanya apa saja kendalanya yang perlu didorong,” kata Arif dalam diskusi daring bertajuk ‘Evaluasi Setahun Jokowi Bidang Ekonomi dan Lingkungan: Transformasi atau Kemunduran?’ yang diadakan Indef bersama Greenpeace Indonesia, Jumat (13/11/2020).

Arif menyampaikan, pemerintah berkomitmen untuk terus menjalankan bauran energi, mulai dari pengembangan bio biesel, hingga transformasi energi di bidang otomotif. Ia juga menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Komitmen tersebut diwujudkan antara dengan melakukan ratifikasi dari sustainable development melalui Perpres 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan pembangunan berkelanjutan, serta Perpres 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari sustainable development.

Disampaikan Arif, beberapa rencana kerja pemerintah di 2021 yang terkait dengan sustainable development antara lain memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, termasuk di dalamnya penyediaan EBT dan konservasi energi. Selanjutnya adalah membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim.

“Komitmen ini dioperasionalkan dalam RAPBN 2021 sebesar Rp 16,7 triliun yang dialokasikan untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup atau anggaran fungsi perlindungan lingkungan hidup. Ini hanya fungsi lingkungan hidup, kita belum bicara mengenai alokasi anggaran yang memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek penjagaan terhadap lingkungan yang tentunya juga menjadi komitmen pemerintah,” kata Arif.

Menurutnya, alokasi anggaran untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup ini menunjukkan bahwa APBN sudah pro green atau pro ekologi. “Presiden kita latar belakangnya juga dari kehutanan, jadi komitmen beliau misalnya untuk persoalan lingkungan dan ekologi tidak perlu diragukan lagi,” tegasnya.

Kemudian di dalam konteks fiskal, juga ada optimalisasi penerimaan pajak melalui perluasan basis pajak barang kena cukai, seperti cukai kantong plastik demi mendorong usaha perbaikan kualitas lingkungan.

“Ini juga bagian dari komitmen untuk mengurangi gas rumah kaca. Kita tahu, basis dasar dari pembuatan kantong plastik adalah petrokimia, dan ini pasti karbon. Selanjutnya terkait penegakan hukum yang dilakukan dengan penguatan kelembagaan, pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan yang dilakukan secara terintegrasi,” imbuhnya.

Sementara itu menurut Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin belum menunjukkan transformasi yang nyata untuk merealisasikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Bila melihat hubungan ekonomi dan lingkungan, Greenpeace melihat terdapat pergeseran dari periode pertama Jokowi, di mana saat ini aspek lingkungan cenderung diabaikan ketika harus dihadapkan pada prioritas pertumbuhan ekonomi.

Menurut Tata, berbagai sasaran dan strategi pembangunan berkelanjutan sebetulnya sudah ada di dalam beberapa kebijakan kunci, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang mencantumkan pembangunan lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim sebagai satu dari tujuh prioritas. Menurutnya, yang diperlukan kini adalah aksi nyata dan segera.

“Terdapat gap yang besar antara strategi besar pembangunan dengan turunan kebijakan dan implementasinya. Pada sektor energi terlihat pemerintah masih memprioritaskan energi kotor dari batu bara padahal sektor energi merupakan sumber emisi terbesar sehingga transisi energi menjadi kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan,” tegas Tata.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY