Teknologi Amerika Dituduh di Balik Gempa Turki, Cek Faktanya!

0

Pelita.online –  Media sosial ramai dengan teori konspirasi yang mengaitkan gempa mematikan di Turki dengan fasilitas HAARP milik Amerika Serikat. Berikut adalah fakta tentang teknologi yang dikembangkan di fasilitas di Alaska tersebut.

HAARP atau High-frequency Active Auroral Research Program diawali sebagai proyek bersama antara Angkatan Udara AS dan Angkatan Laut AS pada tahun 1993. Kendali kemudian dialihkan ke University of Alaska Fairbanks (UAF) pada tahun 2015.

Karena berasal sebagai proyek penelitian militer dan skalanya, HAARP telah lama menjadi subjek teori konspirasi.

Ada banyak klaim bahwa HAARP dapat menyebabkan bencana alam dan menjadi subjek film dokumenter oleh mantan gubernur dan pegulat Minnesota Jesse Ventura, yang mengklaim HAARP dapat digunakan sebagai alat pengontrol pikiran.

Sebuah postingan di Facebook mengklaim bahwa fasilitas riset HAARP di Alaska bisa mengendalikan cuaca Bumi. Caranya dengan menggunakan partikel logam bergetar di atmosfer dengan gelombang radio, demikian dikutip dari Canberra Times, Kamis (9/2/2023).

Postingan itu menyebut pesawat digunakan untuk menebar partikel di atmosfer, sebelum fasilitas HAARP mentransmisikan gelombang radio ke partikel, dengan demikian mereka dapat mengubah cuaca.

Namun klaim itu salah. Para ahli mengatakan kepada AAP FactCheck bahwa HAARP tidak berdampak pada troposfer atau stratosfer tempat pesawat terbang dan cuaca terjadi.

Disebutkan bahwa fitur utama HAARP adalah pemancar frekuensi tinggi yang digunakan untuk mempelajari ionosfer, bagian dari atmosfer atas bumi.

Profesor Fred Menk, seorang ahli ionosfer bumi dan magnetosfer dari University of Newcastle, menggambarkan klaim Facebook tersebut hanya omong kosong.

“Transmisi radio HF (Frekuensi Tinggi) berkaitan dengan interaksi dengan partikel terionisasi – elektron – di ionosfer, di atas ketinggian 100 km. Cuaca di permukaan tanah didorong oleh efek geofisika, sebagian besar pemanasan matahari, ke atmosfer netral yang jauh lebih dekat ke tanah, ” katanya dalam email.

“Tidak ada kemungkinan semua ini berdampak pada cuaca harian. Saran seperti itu tidak masuk akal.”

Ia mengatakan sebagian besar cuaca yang dialami di permukaan bumi terjadi di troposfer dan stratosfer hingga ketinggian sekitar 15 kilometer. Menurut Menk, ini jauh di bawah ketinggian minimum ionosfer.

Ionosfer ditemukan dalam beberapa pita yang bergeser dan berubah ukuran tergantung pada berbagai faktor. Band terendah dimulai pada ketinggian sekitar 60-70 km dan mencapai setinggi 500 km.

“Singkatnya, ada celah yang sangat besar antara udara (cuaca yang dapat diamati) dan ionosfer. Stasiun Luar Angkasa Internasional terbang pada ketinggian 400 km, di ionosfer, dan tentunya tidak ada hujan di sana.” jelasnya Menk.

Sumber : cnbcindonesia.com

LEAVE A REPLY