2021, KPAI Sebut Angka Anak Putus Sekolah Naik

0
Sejumlah siswi SMP berjalan pulang dari sekolahnya di Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin (13/7/2020). Pada hari pertama masuk sekolah di sebagian besar satuan pendidikan di wilayah NTB belum melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka dan masih dilakukan dari rumah secara daring atau bentuk lain memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki secara optimal karena kasus COVID-19 di NTB masih tinggi. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/wsj.

pelita.online-Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengatakan, berdasarkan hasil pengawasan sejak Januari 2021, terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolahselama masa pandemi Covid-19.

Retno menyebutkan, pemantauan ini dilakukan pada Februari 2021 di antaranya; Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Provinsi DKI Jakarta. Pemantauan dilakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara daring dengan guru dan kepala sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI).

“Ada lima alasan yang menyebabkan anak putus sekolah, yaitu karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP (sumbangan pembinaan pendidikan, red), kecanduan game online, dan meninggal dunia,” kata Retno dalam siaran pers diterima Beritasatu.com, Sabtu (6/3/2021).

Retno menyebutkan, pandemi Covid-19 sudah berlangsung selama setahun, seharusnya pemerintah daerah (pemda) sudah dapat memetakan permasalahan pendidikan di wilayahnya, sehingga tidak ada peserta didik yang putus sekolah.

“Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukkan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ucap dia.

Berdasarkan hasil pantauan KPAI selama Januari-Februari 2021, alasan pertama siswa putus sekolah adalah karena menikah. Retno menyebutkan, jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu, dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.

“Karena masih PJJ, maka mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan home visit karena tidak pernah lagi ikut PJJ,” ucap dia.

Kedua, siswa putus sekolah karena bekerja. Retno mengatakan, sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orang tua terdampak secara ekonomi selama pandemi sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. Misalnya, ditemukan ada satu siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya. Ada satu siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orang tuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi dan sepinya order cetakan.

Ketiga, siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan. Retno menuturkan, kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi, terhitung mulai Maret 2020 hingga Februari 2021 ada 34 kasus.

Keempat, Kecanduan game online. Retno menyebutkan, saat pengawasan di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu di antaranya berhenti sementara atau cuti selama satu tahun untuk proses pemulihan secara psikologi.

“Kisah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh,” paparnya.

Kelima, siswa meninggal dunia, dikatakan Retno, hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi berasal dari salah satu SMK swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor. “Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021,”ucapnya.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY