Ajukan Praperadilan, Pengacara Nilai Status Tersangka Habib Rizieq Tidak Sahp

0

Pelita.online –

Tim advokasi Habib Rizieq Shihab telah resmi mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengacara mengajukan praperadilan atas penetapan status tersangka Habib Rizieq.

“Dalam permohonan praperadilan tersebut kami meminta agar hakim praperadilan menyatakan penetapan tersangka terhadap Imam Besar Muhammad Rizieq Shihab yang dilakukan pihak penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya beserta jajarannya adalah tidak sah, tidak berdasar hukum, dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” kata tim advokasi Habib Rizieq, Sumadi Atmadja, lewat keterangannya, Selasa (15/12/2020).

Menurut Sumadi, penetapan tersangka Habib Rizieq tidak sah secara hukum. Sumadi pun meminta agar penyidik menghentikan kasus Habib Rizieq itu.

“Segala penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut yang berkaitan dengan penetapan tersangka tersebut termasuk penangkapan dan penahanan-juga tidak sah dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat, serta penyidikan atas perkara a quo juga harus dihentikan (SP3),” ungkapnya.

Sumadi juga menyebut penetapan tersangka Habib Rizieq mengada-ada.

“Bahwa secara garis besar penetapan tersangka tersebut kami rasa mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum,” tuturnya.

Berikt poin-poin terkait praperadilan Habib Rizieq Shihab:

1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 telah mengubah Pasal 160 KUHP yang dikenakan terhadap klien kami sebagai delik materiil, sehingga penerapannya harus pula disandarkan pada bukti materiil, bukan semata-mata berdasarkan selera penyidik, harus jelas siapa yang menghasut, dan siapa yang terhasut sehingga melakukan tindak pidana dan telah terbukti bersalah di pengadilan, misalnya adanya suatu hasutan sehingga menyebabkan orang terhasut membuat kerusuhan, atau anarkisme, lalu diputus bersalah oleh pengadilan, dan telah berkekuatan tetap. Bukti tersebut tidak mungkin ada, karena sebelum ditetapkannya klien kami sebagai tersangka, tidak ada didapati bukti materiil itu. Oleh karenanya kami berpendapat bahwa Pasal 160 KUHP tersebut semata-semata digunakan agar dapat menahan klien kami sebagai orang yang kritis menyuarakan kebenaran;

2. Bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga salah jika disangkakan kepada Pemohon, unsur terpenting dari Pasal tersebut adalah “menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”, maka dengan tidak adanya bukti penetapan karantina wilayah, juga tidak mengakibatkan adanya penetapan kedaruratan kesehatan dalam hal ini Karantina Wilayah dan PSBB yang diumumkan oleh pemerintah pusat cq menteri kesehatan yang diakibatkan langsung oleh perbuatan Klien kami, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU No. 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan : “Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri”, penggunaan Pasal tersebut oleh pihak kepada klien kami jelas salah, dan mengada-ada, serta tidak disandarkan pada bukti materiil;

3. Bahwa hubungan sebab-akibat tersebut di atas harus didukung dengan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan karena delik materiil haruslah didukung oleh bukti materiil pula. Oleh karena tidak adanya bukti materiil yang mendasari penggunaan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai “predicate crime”, dan Pasal 160 KUHP, maka secara otomatis penggunaan Pasal 216 KUHP gugur karena pasal tersebut tidak dapat berdiri sendiri atau harus berkaitan dengan predicate crime-nya.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY