Berharap kebijakan penutupan Jl Jatibaru Tanah Abang tak semakin kusut

0

Jakarta, Merdeka.com – Kebijakan penutupan Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, oleh Pemprov DKI Jakarta seolah benang kusut yang belum terurai. Sudah berbulan-bulan diterapkan, nyatanya penolakan masih terus terdengar.

Buntut dari kebijakan itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dilaporkan ke polisi. Anies telah membuat kebijakan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan bertentangan dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dengan ancaman pidana 18 bulan atau denda Rp 1,5 miliar.

“Banyak memang dari undang-undang perda sudah langgar lalu pidananya itu yang di laporan. Terus perda dilanggar lalu Pergub ya kalau enggak salah tahun 2007, jadi intinya PKL tidak boleh untuk namanya mengganggu ya jalan raya,” kata pelapor
Sekretaris Jenderal Cyber Indonesia, Jack Boyd Lapian saat dihubungi merdeka.com, Kamis (22/2) malam.

Dia menilai keputusan menutup jalan itu merupakan kewenangan kepolisian bukan Pemda. Dampaknya keputusan Anies tersebut menuai mengganggu semua pihak.

“Yang Jatibaru itu, sedangkan legal standingnya pak Anies enggak ada hanya lisan saja dan itu sudah berlangsung kebetulan enggak sengaja tepat dua bulan, sejak 22 Desember,” katanya.

Sejumlah pejabat Pemprov DKI Jakarta sudah dimintai keterangannya. Seperti Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI, Sigit Wijatmoko, giliran Biro Hukum DKI Jakarta diperiksa pada Senin kemarin. Lewat Kepala sub bagian peraturan pelaksanaan pada biro hukum Pemprov DKI, dijelaskan kebijakan penutupan Jalan Jatibaru berdasarkan Instruksi Gubernur.

“Instruksi dari bapak gubernur, No 17 Tahun 2018 tentang penataan kawasan Tanah Abang. Lalu ada kajian berupa saran dan masukan dari kami terkait hal itu,” kata Kepala Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup di Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Okie Wibowo.

Menurutnya, Anies tidak membuat peraturan terkait penutupan jalan tersebut melainkan hanya instruksi.

“Salah satunya untuk Dishub menyediakan shuttle bus di situ, termasuk Dirut PT Transjakarta menyediakan shuttle bus, kemudian Kepala Dinas UMKM menata PKL yang ada di situ,” ujarnya.

Dalam hal ini, Okie juga menyebutkan tidak mengetahui apakah pihak Pemprov DKI mengundang kepolisian atau tidak saat pembentukan kebijakan tersebut.

Menanggapi pernyataan perwakilan Biro Hukum DKI Jakarta, Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, sebenarnya pernyataan anak buah Anies itu cukup jelas.

“Jadinya jelas ya, yang buat Instruksi Gubernur itu bisa kena, yang ada tanda tangan bisa kena ini,” kata Djoko saat dihubungi merdeka.com, Senin (12/3).

Dia berharap Anies ataupun Sandi membuka diri terkait kebijakan ini. Seharusnya, persoalan ini, katanya, tak perlu berlarut-larut yang menjadi benang kusut dan sampai ke kepolisian.

“Gak perlu selarut inilah, kan banyak cari lain. Kalau memang menertibkan PKL, jangan begini. Ini malah bikin PKL gak takut, malah semrawut,” ujar dia.

Dia menilai beberapa kebijakan yang dibuat Anies-Sandi sering tak konsisten. Dia membandingkan dengan rencana kebijakan Anies mengizinkan becak kembali beroperasi di Jakarta.

“Becak itu tidak diatur dalam Undang-undang tapi diterapkan. Nah kebalikannya, soal Jalan Jatibaru itu justru dilarang Undang-undang, tapi kenapa dilakukan. Ini kan blunder, menunjukkan tidak konsistennya beliau,” jelas Djoko.

Dia berharap kebijakan ini menemui titik terang dan baik untuk semuanya.

LEAVE A REPLY