BPK Soroti Pengelolaan Penerimaan Tiga BUMN yang Bermasalah

0

Pelita.online – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti tiga perusahaan pelat merah yang mengalami permasalahan penerimaan. Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut adalah Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), PT Bukit Asam Tbk, dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I, BPK memeriksa pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi terhadap 15 objek pemeriksaan. Dari jumlah tersebut, 12 objek pemeriksaan di antaranya dianggap sudah sesuai kriteria.

Dengan kata lain ada tiga obyek yakni Bulog, PTBA, dan Garuda Indonesia yang dinilai masih bermasalah. Untuk Bulog, BPK mencatat ada tiga permasalahan penerimaan.

Pertama, pendapatan talangan penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk bencana alam dan operasi pasar sampai dengan 31 Desember 2018 sebesar Rp649,43 miliar belum diterima oleh pemerintah.

Kedua, BPK juga belum mengklaim asuransi kekurangan kuantum beras impor dalam proses pengiriman laut sebesar US$856,15 ribu. Ketiga, Bulog juga belum menerima pendapatan hasil kerja sama pemeliharaan dan penyaluran sapi siap potong dengan PT berdikari (Persero) sebesar Rp78,14 miliar.

“Selain itu, Perum Bulog belum menyetorkan hasil penjualan beras operasi pasar CBP tahun 2018 ke kas negara sebesar Rp888,68 miliar per 31 Desember 2018,” jelas laporan itu, seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (18/9).

Sementara untuk PTBA, BPK menemukan bahwa perusahaan tambang batu bara itu mengalami kekurangan penerimaan atas potensi denda ganti rugi (liquidated damages) karena kontrak penyediaan tak terpenuhi, teknik, dan konstruksi (EPC) bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Banjarsari sebesar US$21,26 juta. Potensi denda itu dibayarkan kepada China National Electric Engineering Co. Ltd (CNEEC).

“Selain itu, PT Bukit Asam Tbk belum memungut pendapatan sewa lahan dan bangunan dari PT GIN minimal sebesar Rp14,21 miliar serta denda sewa sebesar Rp3,76 miliar,” imbuh laporan tersebut.

Terakhir, BPK menyoroti kerja sama antara PT Citilink Indonesia, yang merupakan anak usaha Garuda Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi terkait penyediaan in-flight entertainment dan konektivitas. Setidaknya ada tujuh permasalahan yang ditemukan BPK di dalam kerja sama tersebut.

Pertama, kedudukan para pihak. Di dalam kontrak tersebut, direktur utama Citilink hanya bertindak untuk atas nama Citilink dan tidak dinyatakan mendapat kuasa dari Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air.

Oleh karenanya, Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air tidak memiliki kedudukan hukum di perjanjian. Kedua, objek perjanjian.

Perjanjian kerja sama antara Mahata dan Citilink hanya mengatur perjanjian untuk Citilink, sehingga objek perjanjian itu tak terkait dengan aset milik Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air.

Ketiga, tidak ada penjaminan pelaksanaan dari Mahata. Keempat, hanya sembilan dari 203 pesawat yang telah mendapat izin pemasangan dari lessor.

Kelima, belum ada kesepakatan jadwal instalasi peralatan pada pesawat Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air. Keenam, objek perjanjian in-flight entertainment yang dikerjasamakan dengan Mahata masih terikat perjanjian antara Garuda Indonesia dengan pihak lain.

Ketujuh, Mahata belum melaksanakan sebagian besar lingkup pekerjaan dalam perjanjian kerja sama setelah tanggal efektif dan belum melakukan pembayaran atas tagihan biaya kompensasi sebesar US$241,94 juta.

“Permasalahan lainnya adalah pengakuan pendapatan atas transaksi Citilink dengan Mahata pada laporan keuangan konsolidasi Garuda Indoenesia dan entitas anak untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2018 tidak sesuai Standar Akuntansi Keuangan,” pungkas laporan tersebut.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY