Deradikalisasi Jadi Materi Tambahan di Bimbingan Perkawinan

0

Pelita.online – Kementerian Agama akan menambah konten deradikalisasi dalam materi Bimbingan Perkawinan (Binwin). Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag, Mohsen mengatakan pembaruan materi ini mulai digagas tahun ini.

Tapi kata dia, materi tersebut bakal lebih diintensifkan pelaksanaannya pada 2020-2024.

“Kami sudah mulai 2019, tapi kami akan efektifkan akses dan intervensinya itu di 2020-2024,” terang Mohsen dalam diskusi mengenai “Perlukah Sertifikat Perkawinan” di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (22/10).

“Di Bimas Islam itu ada di nomenklatur program moderasi beragama berbasis keluarga. Nah itu kemudian kami masukkan ke kurikulum Binwin,” lanjut Mohsen.

Ia tak menjelaskan detail materi. Namun yang pasti konten deradikalisasi ini memberikan pemahaman dan pengetahuan beragama secara menyeluruh ke calon pengantin.

“Memahami agama yang benar itu bagaimana. Bagaimana agar tidak ekstrem menyalah-nyalahkan orang lain dan menganggap agama sendiri yang paling benar. Tentu konten tadi dibawa ke proses andragogi, proses belajar orang dewasa,” ia menambahkan.

Dia menjelaskan, konten deradikalisasi ini diterapkan berkaca pada beberapa kasus terorisme yang belakangan mulai melibatkan keluarga. Kemenag hanya ingin melakukan pencegahan terhadap radikalisme itu sendiri.

“Kami hanya mewaspadai agar jangan kemudian paham itu menyusup ke keluarga kita,” ujarnya.

Mohsen mengklaim, materi bimbingan perkawinan terus diperbarui mengikuti problem kontekstual yang dihadapi calon pengantin. Mulai dari kesetaraan gender hingga problem KDRT.

“Kalau tadinya praktis hanya agama dan masalah hukum, misalnya. Kami juga memberikan konten tentang keadilan, kesetaraan gender, KDRT, bahkan yang terakhir ini kami perlu juga memasukkan moderasi agama dalam keluarga. Sebab kita sedang menghadapi persoalan radikalisme,” kata Mohsen lagi.
Sertifikasi Tak Perlu Diwajibkan

Kendati begitu ia mengakui pihaknya belum maksimal menjalankan program bimbingan perkawinan. Pasalnya dari rata-rata 2 juta pasang calon pengantin per tahun, kementeriannya hanya bisa menjangkau 7-10 persen di antaranya.

Mohsen mengungkapkan masalah yang dihadapi masih berkutat pada keterbatasan anggaran. Karena itu merespons ide Kemenko PMK ia pun menyarankan sertifikasi ini tak bersifat wajib.

“Kami setuju ada sertifikat, tapi sertifikat ini bukan kewajiban sebagai syarat untuk melangsungkan pernikahan. Jadi lebih ditekankan ke bimbingan,” jelas dia.

Konsekuensi lain yang perlu dipikirkan adalah perkara anggaran yang bakal membengkak. Karena itu perlu pula dipikirkan soal efisiensi anggaran melalui integrasi program ataupun pemberdayaan Ormas Keagamaan.

“Jadi untuk 2 juta pasang saja itu membutuhkan anggaran sekitar Rp800 miliar. Nah PNPB kita itu punya kisaran Rp600 miliar, itupun tidak mungkin semua untuk program Binwin. Masih ada jasa profesi para penghulu,” ungkap Mohsen.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY