Ini Dasar Aturan yang Larang Berkibarnya Bendera Bintang Kejora

0

Pelita.online – Menko Polhukam Wiranto menegaskan larangan pengibaran bendera bintang kejora. Hal ini merupakan respons dari pengibaran bendera bintang kejora yang sempat dikibarkan di seberang Istana Negaraoleh pengunjuk rasa pekan lalu. Begini dasar aturan larangan tersebut.

“Nggak boleh ini. Negara ini kan punya simbol yang salah satu simbol adalah bendera Kesatuan Republik Indonesia. Bendera kebangsaan hanya satu,” kata Wiranto kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Masyarakat diminta menaati UU. Pemerintah juga dipastikan Wiranto bertindak sesuai aturan hukum yang berlaku.

“Jadi kalau ada (yang) kemudian mengibarkan bendera itu apalagi di istana, di depan Istana dan sebagainya, pasti ada hukumnya, ada undang-undangnya. Kita ikut undang-undang aja lah,” ujar dia.

“Nanti kalau ditindak dibilang pemerintah sewenang-wenang, tidak. Pemerintah selalu bertindak sesuai dengan Undang-Undang dan hukum yang berlaku. Itu saya jamin,” imbuh Wiranto.

Jika merujuk pada UU 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, ditegaskan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI. Maka bendera Papua adalah bendera merah putih. Hal tersebut ada dalam Pasal 2 ayat 1:

Pasal 2
(1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.

Dalam ayat 2 dijelaskan, Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Namun untuk lambang daerah dan simbol kultural Papua dalam bentuk bendera, diperbolehkan dikibarkan. Perlu dicatat, panji kebesaran yang dimaksud adalah yang sifatnya kultural daerah saja.

Pasal 1 
h. Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

Pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pengibaran bendera bintang kejora diperbolehkan. Sebab, kala itu Gus Dur menilai bendera bendera bintang kejora sebagai bendera kultural. Syaratnya, bendera bintang kejora tidak boleh dikibarkan lebih tinggi ketimbang bendera NKRI.

Kendati demikian, aturan ini kemudian dicabut pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui PP No 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Negara. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 6 Ayat 4.

(4) Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terkait desain logo dan bendera organisasi terlarang ini secara eksplisit dipaparkan dalam penjelasan Pasal 6 Ayat 4. Bendera bintang kejora dan logo burung mambruk bukan lambang daerah, melainkan lambang gerakan separatis di Provinsi Papua. Begini bunyi penjelasannya:

Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.

Sebagai contoh kasus, tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Filep Karma berunjuk rasa di Jayapura bersama ratusan mahasiswa Papua pada tahun 2004. Dia ditangkap karena mengibarkan bendera bintang kejora yang merupakan bendera gerakan papua merdeka. Dia dipidana dengan Pasal 104 KUHP tentang makar.

Pasal 104 KUHP berbunyi: Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY