IRESS Tolak Rencana Revisi PP Usaha Pertambangan

0

Pelita.Online – Lembaga swadaya masyarakat Indonesian Resources Studies (IRESS) menolak rencana pemerintah kembali merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara. Pasalnya, revisi tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Sebelumnya, Kementerian akan mengatur mekanisme perubahan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK). Selain itu, Kementerian ESDM juga mengusulkan pemegang PKP2B bisa mengajukan perpanjangan kontrak lima tahun sebelum masa berlaku kontrak berakhir.

Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2010. Dalam perjalanannya, PP 23/2010 telah direvisi sebanyak lima kali. Terakhir, revisi dilakukan dengan menerbitkan PP Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima PP 23/2010.

Direktur Eksekutif Iress Marwan Batubara mengungkapkan, sejak awal PP 23/2010 telah melanggar Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Mineral dan Batu bara. Pasalnya, menurut Marwan, PP23/2010 hingga revisi terakhirnya masih mengutamakan kepentingan kontraktor untuk mempertahankan dominasi pengelolaan tambang di Indonesia.

Faktanya, sesuai UUD 1945, UU Nomor 30/2007 dan UU 4/2009, sumber daya energi maupun sumber daya minerba diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Kami mengingatkan draf PP itu melanggar UU, oleh sebab itu dalam makalah lress minta revisi PP dibatalkan dan konsisten dengan regulasi sebelumnya, kalau kontrak berakhir bisa dikembalikan ke negara,” ujar Marwan dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (12/12).

Dari draf revisi keenam PP23/2010, Marwan menemukan pasal yang bertentangan dengan Pasal 83, Pasal 169, dan Pasal 171 UU Nomor 4/2009. Dalam hal ini, Pasal 83 UU 4/2009 membatasi luas maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15 ribu hektare. Sementara itu, draf revisi tersebut memungkinkan untuk melebihi ketentuan tersebut.

Usai berakhirnya KK atau PKP2B, pemerintah memiliki wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak. Seluruh wilayah kerja tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara.

Setelah itu, status WK diubah menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Pengelolaan lebih lanjut atas WPN diproses melalui tender dan persetujuan DPR dengan menawarkan terlebih dahulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pemegang kontrak KK dan PKP2B tidak mempunyai hak untuk memperoleh perpanjangan usaha pertambangan secara otomatis saat kontrak berakhir meski bentu kerja samanya berubah menjadi IUPK.

Misalnya untuk batu bara, setelah menjadi WPN, pengelolaan tambang dapat diserahkan kepada BUMN. Dengan demikian, ketahanan energi negara lebih terjamin mengingat pasokan energi batu bara untuk ketenagalistristrikan lebih terjamin, bertarif khusus berkelanjutan dan bebas dari potensi penyelewengan.

Marwan menilai rencana revisi PP 23/2010 diduga bertujuan untuk mengakomodasi perpanjangan pengelolaan operasi sejumlah tambang besar batu bara oleh pengusaha PKP2B generasi pertama yang masa kontraknya akan segera berakhir. Dalam hal ini, perpanjangan pengelolaan dilakukan dengan penerbitan IUPK yang berlaku hingga dua puluh tahun.

Sebagai catatan, perusahaan yang merupakan pemegang PKP2B generasi pertama, di antaranya PT Tanito Harum yang masa kontraknya habis pada 2019, PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT BHP Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Adaro Energy (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), PT Berau Coal (2025).

Marwan meyakini rente yang terkumpul dan dan beredar untuk memuluskan rencana perubahan PP 23/2010 dapat dimanfaatkan oleh oknum penguasa sebagai sumber logistik untuk memenangkan Pemilu dan Pilpres 2019.

Di tempat sama, pengamat pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menambahkan revisi PP ini berpotensi menggerus penerimaan negara baik dari sisi pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam bentuk royalti. Mengingat tarif pajak dan royaltinya hanya sekitar 35 persen atau lebih rendah dari sebelumnya yang bisa mencapai 40 persen.

Selain itu, lanjut Ahmad, pemerintah seharusnya memberikan kesempatan yang lebih besar kepada BUMN untuk mengelola lahan tambang yang habis masa kontraknya. Dengan demikian, perusahaan pelat merah bisa lebih besar dan menjalankan perannya untuk menjaga ketahanan energi.

“Kalau RPP ini tidak dilawan, maka 20 tahun lagi batu bara ini akan terus dikuasai swasta dan BUMN jadi pemain kecil,” ujarnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyatakan dukungan dilakukannya revisi kembali PP23/2010. Pasalnya, revisi tersebut akan memberikan kepastian usaha, yang penting di mata pelaku usaha.

Menurut Hendra, revisi PP23/2010 terkait perubahan status dan perpanjangan dilakukan beberapa tahun lalu sebelum masa kontrak berakhir.

“Kalau tidak pasti, kepastian hukum dan kelangsungan usaha untuk jangka panjangnya tentu kami dirugikan,” ujarnya. (sfr/lav)

LEAVE A REPLY